BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia (STFI) bekerja sama dengan Yayasan Thalassemia Indonesia menggelar acara bertajuk 'Skrining Thalassemia Sekali Seumur Hidup Mencerahkan Masa Depan' di Hotel Lingga, Jalan Soekarno Hatta No.464, Batununggal, Kota Bandung, Rabu (22/11/2023).
Ketua Yayasan Thalassemia Indonesia, Ruswandi mengatakan, acara ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang thalassemia itu sendiri.
"Masyarakat sampai hari ini masih banyak yang belum mengetahui thalassemia itu apa? Makanya kita bikin acara ini agar masyarakat itu tahu, dia bertanya-tanya apa itu thalassemia," ucap Ruswandi.
Ruswandi menjelaskan, thalassemia merupakan penyakit keturunan yang disebabkan oleh kelainan hemoglobin yang menyebabkan kerusakan pada sel darah merah sehingga penderitanya mengalami anemia atau kurang darah.
"Mereka kadang-kadang salah, ini penyakit menular dan lain sebagainya. Thalassemia ini tidak menular sama sekali dan memang betul-betul faktor genetik," ungkapnya.
Ruswandi menyebut, jika penyakit thalassemia ini biarkan maka penderitanya akan bertambah banyak sehingga menyebabkan beban negara akan semakin berat. Oleh karena itu, pentingnya melakukan pencegahan penyakit thalassemia ini.
"Ini bisa dicegah, masalahnya kalau tidak dicegah semakin lama, semakin bertambah, maka semakin berat beban bagi negara terutama dana BPJS," imbuhnya.
Ruswandi mengatakan, program pencegahan penyakit thalassemia ini diawali dengan sosialisasi kemudian dilanjutkan dengan proses screening.
"Lalu kita mengetahui apakah kita ini pembawa sifat atau bukan. Kalau kita pembawa sifat yang masih belum menikah, tolonglah cari pasangan yang normal karena masih banyak," sebutnya.
Menurutnya, jika pembawa sifat bertemu dengan pembawa sifat lagi, maka akan lahir lagi thalassemia major, yaitu anemia yang harus menjalankan transfusi darah dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
"Cukup mahal dan beban bagi si pembawa sifat maupun orang tuanya juga cukup berat," ujarnya.
Ruswandi menyebut, penderita thalassemia di Jawa Barat ini ada sekitar 40 persen dari total jumlah 12.150 di seluruh Indonesia.
"Dan ini paling besar," ucapnya.
Menurutnya, potensi untuk jadi thalassemia dari menikah dengan sedarah atau saudara itu memang betul.
"Tapi apakah dia pembawa sifat atau bukan, kalau dia normal kan ga mungkin, normal sama normal, jadinya normal," imbuhnya.
Ruswandi mengatakan, dalam test screening ini pihaknya mencari penderita thalassemia carier atau pembawa sifat, bukan yang thalassemia major.
"Screening test ini bagi generasi muda sangatlah penting, agar mencegah thalassemia major. Supaya mereka tahu, kalau pembawa sifat tolonglah anda mencari pasangan yang normal, jangan yang pembawa sifat lagi. Tapi untuk mencari pembawa sifat atau karier ini harus melalui cara screening dan sebetulnya tidak sulit," tuturnya.
Ruswandi mengatakan, penderita thalassemia kesulitan untuk menjalani transfusi darah. Sebab, tak sedikit masyarakat yang takut untuk donor darah.
"Apalagi tadi kita liat ditusuk jarum ada yang pingsan, ada yang ngumpet, apalagi donor. Padahal donor itu bagus buat kesehatan, tapi masyarakat kita masih takut," katanya.
Selain itu, kegiatan promosi kesehatan dari pemerintah soal thalassemia ini pun tidak ada.
"Pemerintah ada program screening, tapi promosi kesehatan kepada masyarakatnya yang gaada. Sekarang gausah jauh-jauh, dateng ke puskesmas ada ga pelayanan screening thalassemia? Gaada. Ini penting sekali, untuk masyarakat mengetahui," paparnya.
Menurutnya, ketahanan hidup thalassemia ini sekarang udah semakin lama, ada yang sampai 49-60 tahun. Namun rata-rata di 30-35 tahun.
"Tergantung kondisi si karier, kalau dia disiplin transfusi darah sebetulnya bisa lebih bagus. Cuman kan cape, jenuh, bosan, itu yang ada di pikiran karier. Jadi dia bertanya-tanya kapan sih saya bisa sembuh? Sampai kapan saya begini saja," katanya.
Sementara itu, Ketua STFI, Adang Firmansyah mengatakan, penderita thalassemia ini ibarat gunung es. Terlihat sedikit di permukaan tapi di bawah itu masih banyak sekali.
"Bahkan orang banyak yang tidak tahu bahwa thalassemia itu di posisi 4 pada pembiayaan BPJS. Penderitanya hanya 12.000-20.000 tapi ngabisin BPJS nya Rp600 miliar, karena 1 orang ngabisin Rp400 juta untuk terus transfusi darah," ucap Adang.
Adang menilai, tujuan adanya skrining ini untuk mencegas agar tidak terjadinya pernikahan antar sesama penderita thalassemia.
"Yang lebih penting soal ekonomi tadi, BPJS sekarang habis 600 miliar untuk penderita thalassemia. Seandainya ter screening, database nya ada dan tidak melakukan pernikahan antara karier, makin lama makin turun," katanya.
Adang mengatakan, skrining ini merupakan gebrakan awal yang nantinya diharapkan kampus-kampus di Jabar bisa menggelar kegiatan yang sama di kampusnya sendiri.
"Data ini kita akan bawa ke Pemerintah Jawa Barat, bahwa ini nih hasil screening awal kita begini. Yuk, Jawa Barat kita masifkan, sehingga nanti angka di Jawa Barat bisa turun," imbuhnya.
Sebab menurutnya, hambatan pencegahan thalassemia ini ada pada sosialisasi.
"Jadi sosialisasinya itu belum masif si thalassemia ini, dengan hadirnya kegiatan ini sebetulnya untuk memasifkan informasi, agar masyarakat itu aware," katanya.
Oleh karena itu, dia berharap kedepan banyak pihak yang ikut bersinergi dalam skrining thalassemia ini.
"Kedepannya kita berharap bisa bersinergi agar bisa screening penyakit-penyakit genetik lainnya. Sehingga mungkin satu kegiatan itu tidak hanya screening thalassemia saja, tapi screening yang lain-lain juga," tandasnya.
Editor : Zhafran Pramoedya
Artikel Terkait