Di Depan Penyuluh Agama, Kang Ace Beberkan Peran Penting Komisi VIII DPR dalam Urusan Haji

Agus Warsudi
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Tubagus Ace Hasan Syadzily membeberkan peran penting Komisi VIII DPR dalam urusan haji. (FOTO: ISTIMEWA)

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Wakil Ketua Komisi VIII DPR Tubagus Ace Hasan Syadzily menyosialisasikan peran penting DPR, khususnya Komisi VIII, dalam urusan haji di Indonesia. Tiga peran penting itu sangat menentukan sukses tidaknya pelaksanaan ibadah haji setiap tahun.

Kang Ace, sapaan akrab Tubagus Ace Hasan Syadzily, terdapat 3 peran penting Komisi VIII DPR dalam pelaksanaan ibadah haji di Indonesia. Pertama, menyusun undang-undang tentang haji dan terkait pengelolaan keuangan haji. 

"Kedua, penganggaran biaya dan keuangan haji. Ketiga, melakukan pengawasan pelaksanaan ibadah haji," kata saat menjadi narasumber acara Sosialisasi Pengelolaan Keuangan Haji dan BPIH 1445 Hijriah/2024 Masehi di Hotel Grand Preanger, Jalan Asia Afrika Nomor 81, Kelurahan Braga, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung, Kamis (28/12/2023).

Hadir dalam kegiatan itu, anggota Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BP BPKH) Arief Mufraini dan 100 penyuluh agama se-Kabupaten Bandung. 

Indonesia, ujar Kang Ace, memiliki undang-undang tentang Penyelenggaraan Haji, yaitu, UU Nomor 13 tahun 2008. Kemudian, undang-undang itu direvisi karena mengikuti perkembangan zaman. Pada 2008, belum ada daftar tunggu haji. Daftar tunggu baru muncul pada 2010.

Dalam UU Nomor 13 tahun 2008, tidak diatur tentang pelimpahan nomor kursi calon haji. Dalam UU Nomor 8 tahun 2019, diatur tentang pelimpahan nomor kursi jika calon haji yang telah mendaftar meninggal dunia. Undang-undang mengatur nomor kursi calon haji bisa diberikan kepada ahli waris, yaitu istri atau anak.

Untuk diketahui, daftar tunggu haji saat ini sangat lama. Saat ini, rata-rata daftar tunggu selama 37 tahun. Di Kalimantan Selatan 36 tahun, Jawa Tengah 34 tahun, Nusa Tenggara Barat (NTB) 36 tahun, Sulawesi Selatan 34 tahun. Bahkan salah satu kabupaten di NTB, daftar tunggu hajinya selama 40 tahun.

Di Jawa Barat, rata-rata daftar tunggunya 25-30 tahun. Kabupaten Bandung 30 tahun. Tapi ini masih mending, karena dibandingkan Malaysia sampai 150 tahun. "Karena itu, UU Haji Nomor 13 tahun 2008 direvisi menjadi UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji," ujar Kang Ace.

Kang Ace menuturkan, UU Nomor 8 tahun 2019 juga mengatur tentang pembagian kuota haji menjadi dua komponen. Pertama yang diselenggarakan pemerintah. Kedua, yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK). Ibadah haji reguler oleh pemerintah 92 persen. Sedangkan 8 persen oleh PIHK.

Pembagian kuota ini, ujar Kang Ace, demi kepentingan umat. Sebab, banyak orang yang menunggu puluhan tahun untuk berangkat haji. Maka, persentase terbesar 92 persen untuk haji reguler. Di dalam UU Haji tegas haji reguler 92 persen dan haji khusus 8 persen. 

"Kenapa tidak diambil semua untuk haji reguler? Sebab dunia usaha haji dan umrah pun harus hidup. Banyak orang yang hidup dari pelaksanaan ibadah haji," tuturnya.

Dalam kesempatan itu, Kang Ace juga menjelaskan terkait pengelolaan keuangan haji imbas dari daftar tunggu yang lama. Semakin banyak daftar maka semakin banyak orang yang melakukan setoran uang. 

"Lalu siapa yang mengelola? Apakah Kementerian Agama (Kemenag) punya kewenangan mengelola keuangan tersebut? Untuk diinvestasikan, didiamkan, atau untuk apa?" tutur dia.

Menurut Kang Ace, bahaya uang bernilai triliunan rupiah didiamkan. Jika tidak didiamkan, jadi untuk apa? Diinvestasikan? Mana payung hukumnya. Maka lahirlah UU Nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.

"Sebab, kita pernah punya kasus. Walaupun Menteri Agama, kalau tidak memiliki payung hukum dalam membuat suatu kebijakan, tidak bisa dan dianggap melanggar hukum," ucap Kang Ace. 

Karena itu, sejak 2014, setelah terbit UU Nomor 34 tahun 2014, dana haji tidak dikelola oleh Kementerian Agama tetapi diserahkan ke badan khusus, yaitu, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). "Nah bapak ibu, kalau ditanya soal keuangan haji, bukan Kemenag, tapi BPKH," ujar dia.

Apa alasan DPR memisahkan pengelolaan keuangan haji dengan penyelenggaraan haji? Tujuannya, tutur Kang Ace, agar Kemenag fokus mengurusi penyelenggaraan ibadah haji. Sedangkan dana haji dikelola BPKH agar uangnya besar nilai manfaatnya.

Kang Ace mengatakan, dulu ada istilah Ongkos Naik Haji (ONH). Istilah itu tidak lagi digunakan. Saat ini, adalah Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang merupakan komponen keseluruhan biaya haji. 

Terdapat dua komponen di bawah BPIH, yaitu, pertama, Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih), biaya yang dibayar jamaah. Komponen kedua, nilai manfaat pengelolaan dana haji.

Dalam 20 tahun terakhir ini, tutur Kang Ace, biaya haji tidak seluruhnya dibayar jamaah. Ada yang langsung dibayar jamaah dan ada yang dari nilai manfaat dana haji. 

Tahun ini, dari total biaya haji Rp93,4 juta, tidak ditanggung seluruhnya oleh jamaah haji. Tetapi, jamaah haji hanya dikenakan biaya 60 persen atau Rp56 juta. Sedangkan sisanya, 40 persen atau Rp37 juta dari nilai manfaat dana haji. 

Proses menetapan biaya haji 2024 menjadi Rp93,4 juta, ujar Kang Ace, berawal pada 13 November 2023. Saat itu, pemerintah melalui Kemenag mengusulkan biaya haji Rp105 juta per jamaah dengan persentase 70 persen ditanggung jamaah dan 30 persen oleh nilai manfaat. 

"Karena saya sahabatan dengan Menteri Agama (Yaqut Cholil Qoumas atau Gus Yaqut), akhirnya saya sampaikan. Gus, mohon maaf, ini (biaya haji Rp105 juta) kegedean Gus. Maka BPIH Rp105 juta per jamaah itu, kami koreksi," ujar dia.

Kemudian, panitia Kerja (Panja) Komisi VIII DPR memanggil BPKH, maskapai penerbangan, pengelola bandara Angkasa Pura, dan seluruh stakeholder ibadah haji. Setelah dikritisi siang malam, akhirnya disepakati biaya haji dapat ditekan dari Rp105 juta menjadi Rp93,4 juta.

Komponen terbesar dalam biaya haji yaitu, penerbangan pesawat. Saat itu, Rp36 juta. Karena pesawatanya sewa atau carter, berangkat isi pulang kosong dan saat kepulangan, pesawat penjemput dalam keadaan kosong, pulang isi.

"Setelah kami menetapkan BPIH Rp93,4 juta, terjadi perdebatan lagi. Soal berapa biaya yang dibayar oleh jamaah dan berapa dari nilai manfaat. Pemerintah menginginkan 70 persen atau Rp60 juta," tutur dia. 

"Akhirnya disepakati, biaya haji yang dibayar jemaah Rp56 juta. Sisanya Rp37 juta diambil dari nilai manfaat dana haji. Jadi jika ditanya masyarakat apakah biaya haji dibayar sepenuhnya oleh jamaah, enggak. Yang dibayar jamaah hanya Rp56 juta," tutur Kang Ace. 

Undang-undang Haji, tutur dia, juga mengatur pelayanan bagi calhaj disabilitas. Diatur juga tentang visa muzaman bagi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) dan panitia penyelenggaraan ibadah haji.

"Alhamdulillah, 2024, biaya haji telah diputuskan jauh lebih cepat dibanding tahun sebelumnya. Yaitu Rp93,4 juta. Kenapa lebih cepat, karena sudah ketahuan kuota hajinya. Kedua karena tahun politik," tutur dia.

Pada 2024, kata Kang Ace, kuota haji Indonesia sebanyak 241.000. Kuota terbesar sepanjang sejarah. Kuota itu dibagi dua, sebanyak 221.000 jamaah haji reguler dan 20.000 jamaah haji khusus.

Komisi VIII DPR, kata Kang Ace, juga melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan ibadah haji pada 2023. Saat itu, jumlah lansia calon haji cukup besar, sebanyak 61.000, terbesar dalam sejarah. 

Jumlah calhaj yang meninggal saat itu pun paling dalam sejarah, yaitu, 750 orang. Karena itu, penting dilakukan screening kesehatan sebagai pelaksanaan prinsip istia'ah.

Editor : Ude D Gunadi

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network