BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Partai politik (parpol) berperan sangat penting dalam menyukseskan pemilu di Indonesia. Bukan hanya sukses dalam memenangkan parpol atau pasangan dalam pesta demokrasi di tingkat Provinsi, kabupaten dan kota.
Parpol harus menjadikan kehidupan masyarakat harmonis dan kondusif, baik saat maupun pascapelaksanaan pemilu.
Di setiap pelaksanaan pemilu di Indonesia, termasuk pilkada serentak, selalu diwarnai polarisasi masyarakat akibat perbedaan pilihan.
Sejak 2014, 2019 hingga 2024, polarisasi terus menguat seiring dengan perkembangan dunia teknologi melalui media sosial (medsos) yang masif.
Lalu, apakah parpol sudah melakukan literasi agar kader atau pendukungnya tidak termakan berita hoaks atau menjadi penyebar?
Pengamat Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran (Unpad) Firman Manan mengatakan, selama parpol di Indonesia hanya melakukan literasi guna mencegah berita hoaks saat kampanye.
"Jadi parpol di Indonesia hanya akan melakukan literasi hoaks saat kampanye, tidak ditekankan setiap saat. Di Pemilu 2014 dan 2019, parpol banyak melakukan kampanye bagi programnya, dan isu simbolik lainnya. Memang tidak salah karena itu kampanye positif," kata Firman, Jumat (24/5/2024).
Firman menyatakan, pada 2014 dan 2019, parpol banyak mengangkat isu agama, kedaerahan, dan personal orang per orang.
"Nah ini harus dihindari. Ini menjadikan sebuah pemahaman bahwa masyarakat kita beda, sehingga tidak boleh lmenyudutkan atau mengangkat isu-isu sensitif," ujarnya.
Di Pemilu 2024 pada 14 Februari lalu, tutur Firman, pemerintah sudah melakukan berbagai langkah pencegahan hoaks agar tidak berdampak serius, saat tahapan, pelaksanaan, dan pascapemilu.
"Masyarakat kita ini hanya 9 persen yang berasal dari lulusan perguruan tinggi. Sembilan persen ini dianggap memahami bagaimana kampanye, mana itu kampanye negatif dan positif," tutur Firman.
Sisa dari 9 persen, kata Firman, masyarakat berlatar pendidikan lulusan SD sampai SMA di semua strata golongan.
"Pemerintah melalui Kemenkominfo, Polri, TNI, BIN hingga penyelenggara pemilu, yakni, KPU dan Bawaslu, terus berupaya agar masyarakat tidak termakan hoaks di Pemilu 2024," ucapnya.
Menurut Firman, parpol harus bisa legowo ketika pasangan calon di pilgub, pilbup, dan pilwalkot ikut diserang hoaks dan opini negatif di medsos.
"Saya ambil contoh, ada fenomena di Pilpres 2008 di Amerika Serikat saat Barack Obama dan John Mccain. Saat itu pendukung McCain menyerang Obama dengan hoaks bahwa Obama itu masuk golongan Islam radikal dan sebagainya. Namun oleh capres Johnny Mccain saat itu menjelaskan bahwa Obama rakyat Amerika yang siap membangun Amerika, dan itu diklarifikasi oleh tokoh," ujar Firman.
Dari penjelasan fenomena di Pilpres Amerika Serikat 2008 itu, tutur Firman, Indonesia bisa belajar agar elite politik, khususnya di daerah harus dewasa dalam menyikapi perbedaan.
"Intinya dewasa dalam menyikapi perbedaan itu penting, dan itu harus ditunjukkan oleh tokoh politik di negeri ini agar masyarakat bisa melihat dan mengikuti tokoh politik pilihannya, tanpa harus mengorbankan silaturahmi," ucap Firman.
Editor : Ude D Gunadi
Artikel Terkait