Reaktivasi Jalur Kereta Cipatat-Padalarang, Antara Ancaman, Kenangan, dan Harapan

Adi Haryanto
Aset jalur kereta peninggalan Belanda yang mati suri kembali akan diaktifkan, tercatat ada lima jalur di Jawa Barat yang akan direaktivasi salah satunya Cipatat-Padalarang sepanjang 17 kilometer. Foto/Istimewa

BANDUNG BARAT,iNews BandungRaya.id - Pada tanggal 10 Mei 1883, pemerintah kolonial Belanda melakukan pembukaan jalur Kereta Sukabumi-Cianjur.

Artinya hari ini, tepat 142 tahun yang lalu jalur kereta tersebut dibangun, yang kemudian menjadi cikal bakal dibangunnya jalur kereta yang menghubungkan Sukabumi-Cianjur-Cipatat-Padalarang, hingga Bandung.

Pada masa itu, pemerintah Belanda sedang getol-getolnya melakukan pembukaan jalur-jalur kereta baru untuk pengangkutan logistik hasil bumi dan keperluan militer.

Wilayah Jawa Barat menjadi strategis untuk dibangun jalur kereta api. Sebab banyak terdapat perkebunan, pusat militer, dan juga akses ke Batavia sudah ada dengan terhubungnya jalur kereta Buitenzorg (Bogor) ke Sukabumi sejak 31 Januari 1873.

Sejak saat itu era perkeretaapian di Indonesia terus berkembang pesat. Hingga peninggalannya masih bisa dirasakan sampai sekarang dan dipergunakan sebagai sarana transportasi massal di masyarakat.

Namun selain yang masih eksis dipergunakan, tidak menutup mata jika banyak juga jalur-jalur kereta yang mati suri. Saking lamanya tidak dipergunakan, sebagian jalur rel  kereta ada yang 'menyerah' karena berubah jadi lahan permukiman.

Kemudian muncul wacana reaktivasi kembali jalur-jalur kereta yang sudah mati suri. Itu demi memanfaatkan aset-aset peninggalan zaman Belanda, kendati telah usang namun tetap menyimpan memori indah bagi penggemar transportasi kereta.

Isu reaktivasi sebenarnya sudah sering didengar gaungnya dalam beberapa dekade terakhir, namun belum semua terealisasi. Namun wacananya yang kembali di suarakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, membawa angin segar.

Harapan akan terwujudnya transportasi massal berbasis kereta yang saling terkoneksi di Bandung Raya dan Jawa Barat, bukan hanya angan-angan semata. Publik pun menanti dengan antusias reaktivasi ini, meski tentu ada juga yang merasa terancam.

Acup (54) misalnya. Warga Kampung Pojok, Desa Ciburuy, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), justru mengaku khawatir dengan adanya rencana reaktivasi jalur kereta Cipatat-Padalarang.

Sebagai seorang pengemudi angkutan umum trayek Padalarang-Rajamandala  sejak tahun 2003, dia telah menggantungkan periuk keluarganya dari pendapatan harian sebagai sopir angkutan umum.

Dibenaknya, jika jalur kereta Cipatat-Padalarang dibuka maka berapa rupiah pemasukannya akan hilang. Sebab pasti masyarakat akan lebih memilih menggunakan kereta yang ongkosnya lebih murah dan tidak terkendala macet.

Selama ini, ujar Acup, kereta yang beroperasi adalah dari Sukabumi sampai Stasiun Cipatat. Bagi masyarakat yang akan menuju Padalarang akan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan transportasi angkot.

"Kalau misalnya ada kereta, mereka yang mau ke Padalarang dari Sukabumi atau Cianjur, ya tinggal langsung, enggak akan naik angkot," ucapnya saat ditemui ketika mangkal di Jalan Gedong Lima, Padalarang, Sabtu (10/5/2025).

Sekarang saja sebelum ada kereta dari Cipatat ke Padalarang, penghasilannya tak menentu akibat mesti bersaing dengan angkutan online dan bus AKDP. Bahkan cenderung terus menipis, padahal setoran yang mesti dibayarkan tak mengenal kata turun.

Sehari biasanya Acup mendapatkan penghasilan kotor sekitar Rp200 ribu sampai Rp250 ribu. Dari pendapatannya itu Rp130 ribu untuk setoran, sisanya dipakai makan, beli BBM, dan dibawa ke rumah.

Mau tidak mau, cukup gak cukup, uang itu mesti bisa menutupi kebutuhan harian keluarganya.

Sehingga wajar ada terbersit kekhawatiran jika jalur kereta Cipatat-Padalarang kembali diaktifkan, penghasilannya akan semakin terjun bebas. Padahap dirinya hanya mengais rejeki Rp12 ribu per penumpang untuk perjalanan terjauh dari Padalarang-Rajamandala atau sebaliknya.

"Ya khawatir ada, kan kalau ngangkot dari Rajamandala atau Cipatat ke Padalarang sekitar 1,5 jam kalau macet. Ini naik kereta paling hitungan menit," tuturnya.

Berdasarkan cacatan yang dinukil dari laman Indonesian Railway Preservation Society (IRPS), pembangunan jalur kereta di zaman kolonial Belanda selain untuk segi ekonomi, juga untuk keperluan militer dan menyejahterahkan masyarakat di daerah yang masih terisolir.

Sehingga akhirnya perusahaan kereta api negara, Staatsspoorwegen (SS), memulai pembangunan jalur yang terbagi menjadi tiga tahap.

Yaitu Buitenzorg-Cicurug sepanjang 27 kilometer (pembukaan jalur 5 Oktober 1881), lalu Cicurug-Sukabumi panjang 31 kilometer (21 Maret 1882), dan Sukabumi-Cianjur sekitar 39 kilometer (10 Mei 1883).

Bersamaan dengan jalur KA Sukabumi-Cianjur, diresmikan juga Stasiun Cianjur yang memulai pembangunan setahun sebelumnya. Relasi Sukabumi-Cianjur dikenal dengan jalurnya yang meliuk-liuk di daerah perbukitan.

Tak hanya itu, sebuah terowongan dengan panjang 686 meter bernama Terowongan Lampegan yang selesai dibangun pada 1882 juga cukup dikenal di daerah tersebut.

Lalu pembangunan jalur KA oleh pemerintah Belanda berlanjut sampai Bandung dan Cicalengka. Kereta relasi Sukabumi-Cianjur sempat mengalami mati suri dan pada 8 Februari 2014, pelayanan dibuka kembali menggunakan Kereta Api Siliwangi.

Pada tahun 2001 runtuhnya terowongan Lampegan menyebabkan jalur Sukabumi-Bandung ditutup. Adapun kereta api Cianjuran dahulu melayani rute Padalarang-Cianjur. Dihentikan operasionalnya pada 2013 karena tidak ada kontrak Public Service Obligation (PSO) antara PT KAI dan pemerintah.

Sementara kereta api Bumi Geulis melayani rute Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung. Tapi dihentikan operasionalnya pada April 2013 karena tidak ada kontrak PSO.

Reaktivasi Jalur Kereta Jangan Matikan Angkutan Umum 

Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) KBB, Asep Dedi Setiawan menyebutkan, di jalur Padalarang-Rajamandala tercatat ada sekitar 150-200 angkot yang masih aktif mengaspal.

Mereka selama ini harus bertahan di tengah gempuran modernisasi transportasi berbasis online.

Oleh karenanya, ketika pihaknya mendengar ada rencana akan diaktifkannya kembali kereta jalur Cipatat-Padalarang, yang terpikir adalah bagaimana para sopir trayek Padalarang-Rajamandala bisa bertahan.

Sebab bagaimana pun akan sulit untuk membendung penumpang agar tidak beralih ke transportasi kereta api. Pertimbangannya jelas, ongkos akan lebih murah dan waktu tempuh lebih terprediksi mengingat bebas macet jika dibandingkan jalur aspal.

"Kami mendukung pengembangan sektor transportasi oleh pemerintah, tapi jangan sampai reaktivasi jalur kereta api justru malah mematikan denyut nadi kehidupan para sopir angkot dan keluarganya," ucap pria yang akrab disapa Ucok ini.

Dirinya memprediksi sekitar 50% penumpang angkot akan beralih ke kereta di rute Cipatat-Padalarang. Oleh karenanya harus ada win-win solusi, karena bagaimana pun angkot yang notabenenya punya dasar hukum, punya izin usaha, bisa punah jika tidak dilindungi.

"Masyarakat transportasi angkutan di KBB itu juga harus dilindungi, diperhatikan, dan didukung pemerintah. Saya ingin tau solusi dari gubernur seperti apa," tuturnya seraya akan melakukan audiensi ke Pemda KBB, Dishub, dan DPRD KBB untuk membicarakan hal ini.

Di sisi lain, reaktivasi jalur kereta Cipatat-Padalarang bagi masyarakat KBB juga adalah sebuah kenangan. Bagaimana mereka mengenang masa-masa kecil ketika menggunakan transportasi kereta api melintasi sejumlah stasiun. Seperti Cipatat-Tagogapu-Padalarang-Bandung.

Mantan aktivis pengguna sarana transfortasi kereta jalur Cipatat-Padalarang, Djamu Kertabudi menyebutkan, nuansa nostalgia mengenang masa lalu sebagai generasi "Si Gomar" (nama lokomotif).

Yakni satu-satunya sarana transportasi bagi masyarakat bawah yang tinggal di wilayah Cipatat saat mau bepergian ke Padalarang hingga Bandung.

"Saat itu tahun 1960-an, memang ada sarana transportasi lain berupa Bus Wahyu dan Berkah rute Bandung-Cianjur/Sukabumi, namun hanya waktu-waktu tertentu saja, dan digunakan oleh kalangan terbatas," kenangnya.

Namun apabila jalur kereta api ini akan dioperasikan kembali, kiranya ada catatan kecil yang diperkirakan akan menjadi kendala dan perlu mendapat perhatian.

Yakni jalur kereta api yang berada di antara Cipatat-Tagogapu tepatnya di sekitar wilayah Cirawa Mekar melewati kondisi tanjakan yang cukup terjal dan berkelok.

Sehingga membuat kereta api ketika sampai di lokasi tersebut berhenti cukup lama, kemudian berjalan kembali secara pelan-pelan. Rupanya persoalan inilah yang sampai saat ini membuat tidak ada kereta rute jalur Padalarang-Tagogapu-Cipatat.

Padahal rute kereta Cipatat-Cianjur-Sukabumi sudah beroperasi. Konon sudah beredar di kalangan masyarakat bahwa PT KAI akan menghidupkan kembali jalur kereta api ini dengan menggeser terlebih dahulu lokasi jalur kereta disekitar Cirawa Mekar.

"Semoga saja rencana ini segera dapat terlaksana, sehingga bisa bernostalgia ke masa lampau," imbuhnya.

Pada kesempatan terpisah Kepala Dinas Perhubungan (Dishub), KBB, Fauzan Azima berharap ada multiplier effect positif dari reaktivasi jalur kereta Cipatat-Padalarang yang digagas Gubernur Jabar Dedi Mulyadi.

Ini dikarenakan pergerakan masyarakat dari Sukabumi, Cianjur, dan Cipatat menuju Padalarang hingga Bandung, melalui sistem integrasi pelayanan angkutan berbasis rel jadi tidak terputus.

Sejalan dengan itu, efek ekonomi juga akan terdongkrak. Sebab pergerakan kereta akan lebih cepat karena kereta tidak dipengaruhi kemacetan dan pewaktuan lebih terjaga ketepatannya.

"Semakin banyak pergerakan masyarakat maka akan berdampak kepada sektor wisata, perdagangan dan jasa, karena adanya kemudahan aksesibilitas yang terintegrasi khususnya dari kereta," tuturnya.

Kendati begitu, lanjut Fauzan, ada tantangan yang harus diantisipasi, yakni bagaimana mengintegrasikan dari stasiun ke tempat-tempat yang jadi tujuan seperti tempat wisata, jasa, atau perkantoran yang harus terlayani juga oleh angkutan umum yang tidak terputus.

Diharapkan ada transportasi berkelanjutan yang ramah lingkungan, seperti penggunaan bus, sepeda, atau transportasi umum lainnya, serta penyediaan sarana pejalan kaki yang aman dan nyaman.

Sehingga masyarakat dibiasakan untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi yang bisa berdampak kepada kemacetan. Terlebih spot-spot perkantoran atau perdagangan di kawasan Padalarang jaraknya pendek dan kontur jalannya relatif datar.

Menurutnya, konsep wilayah perkotaan Padalarang memang kebijakan transportasinya diarahkan ke transportasi keberlanjutan yang ramah lingkungan. Itu bisa terwujud jika sarana prasarana pendukung keselamatan dan kenyamanan dimaksimalkan.

Perlu ada peran serta dari pusat melalui Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, Pemprov Jawa Barat, dan elemen terkait lainnya, mengingat jalan di kawasan Padalarang statusnya jalan nasional dan provinsi.

Seperti penataan dan memaksimalkan terminal di Gedong Lima, trotoarisasi, pelebaran bahu jalan, pemasangan traffic light, kelengkapan rambu-rambu dan yang lainnya. Sehingga bisa mengurangi angka kemacetan di kawasan Padalarang.

"Berapa persen pengurangannya (kemacetan)? Harus ada kajian komprehensif terlebih dahulu, sebab harus mengetahui asal dan tujuan perjalanan masyarakat, apakah dari eksternal ke internal (Sukabumi ke KBB), internal ke internal, atau internal ke eksternal (KBB ke Kota Bandung dan luar KBB)," terangnya.

Sejauh ini upaya untuk mengurangi kemacetan di Padalarang telah dilakukan oleh Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Forkopimda, Forkopimcam dan stakeholder terkait di KBB dengan melakukan rekayasa jalan. Serta mengembalikan fungsi jalan untuk memaksimalkan aksesibilitas.

Yakni sejumlah ruas jalan yang awalnya satu arah menjadi dua arah, seperti di Jalan Gedong Lima, Jalan Tagog, Jalan Cihaliwung. Jalan Panaris lebih dulu dua arah, meski sebelumnya satu arah, karena menjadi akses ke Kantor Pemda KBB dan ada akses ke Kereta Cepat Whoosh di Stasiun Padalarang.

Dirinya tidak memungkiri jika dengan rekayasa itu masih ada terjadi kemacetan di kawasan Padalarang. Terutama saat fix hour, seperti pagi dan sore hari ketika aktivitas masyarakat meningkat karena kegiatan perkantoran, sekolah, atau perdagangan.

Kondisi itu terjadi akibat infrastruktur jalan di kawasan Padalarang tidak bertambah dari jauh sebelum KBB terbentuk tahun 2007.

Di sisi lain pertumbuhan kendaraan berdasarkan data di Samsat wilayah KBB naik 18% per tahun dan pertumbuhan lalu lintas rata-rata juga naik 10%.

"Jalan utama di Padalarang pada saat fix hour itu bisa mencapai 3.000 kendaraan/jam, padahal Lembang saja ketika hari libur hanya sekitar 2.000 kendaraan/jam. Sementar Jalan Cihaliwung atau Panaris berkisar antara 1.000-2.000 kendaraan/jam," sebut Fauzan.

Semakin berkembangnya kawasan Padalarang oleh mobilisasi masyarakat dengan kereta cepat atau kereta reguler jika reaktivasi jalur Cipatat-Padalarang terealisasi.

Maka perlu adanya normalisasi arus lalu lintas yang lebih efisien, lancar, tertib, dan tidak macet. Harapannya Padalarang bisa menjadi kawasan metropolis yang maju secara ekonomi dan publik transportasinya.

Sehingga bisa mencirikan sebagai pintu gerbangnya KBB. Jadi wisatawan yang akan liburan ke wilayah utara atau selatan KBB, bisa berawal dari Padalarang dan kembali ke Padalarang. (*)

Editor : Rizki Maulana

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network