BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor kini kian mengkhawatirkan. Di tengah angka impor beras, gandum, dan kedelai yang terus melonjak, Indonesia Locavore Society (ILS) hadir membawa sebuah gerakan budaya pangan yang ingin mengembalikan kedaulatan bangsa lewat cara paling sederhana: memilih makan dari bumi sendiri, Sabtu (1/11/2025) di Bandung.
“Indonesia ini negara pengimpor pangan terbesar di dunia. Kebanyakan berbasis gandum. Ini sesuatu yang menurut saya sudah alarm,” ujar Syarif Bastaman, Pembina sekaligus Inisiator ILS.
Baginya, lonjakan impor pangan bukan sekadar soal ekonomi, melainkan juga soal jati diri bangsa.
Data Januari–Agustus 2025 mencatat, impor beras mencapai 3,05 juta ton, naik 92% dibanding tahun sebelumnya. Impor gandum menembus 8,43 juta ton, kedelai 2,05 juta ton, dan gula 3,38 juta ton. Semua angka itu menandakan satu hal: swasembada pangan yang dulu menjadi cita-cita nasional, kini hanya tinggal jargon.
“Kalau ketergantungan impor bisa dikurangi, pertumbuhan ekonomi pun terbantu. Uang kita tidak lagi dihambur-hamburkan ke luar negeri,” lanjut Syarif.
Gagasan ILS, kata Syarif, bermula dari diskusi ringan di grup WhatsApp tentang keresahan bersama atas pola konsumsi masyarakat yang kian bergantung pada produk impor. “Lalu kami berpikir, bagaimana kalau kita mulai inisiatif ini dari masyarakat, dari budaya, dari perilaku yang menolak impor,” ujarnya.
Dari ide sederhana itu, lahirlah struktur organisasi ILS. Selain Syarif, jajaran pembina dan pengurus diisi tokoh lintas bidang seperti Erry Riana Hardjapamengkas (tokoh antikorupsi), Ayi Vivanda (Wakil Wali Kota Bandung 2003–2008), Eep S. Maqdir (aktivis agrobisnis dan ahli multimedia) sebagai Ketua Umum, hingga Denny Chandra Iriana, komedian senior P-Project, yang kini turut menjadi pengurus bidang sosialisasi.
Menurut Eep S. Maqdir, ILS bukan sekadar soal pangan lokal, tapi soal cara pandang terhadap bumi dan keberlanjutan.
“Locavore itu gerakan yang mendorong manusia untuk mengonsumsi bahan pangan yang tumbuh dan diproduksi di lingkungan terdekatnya,” jelasnya.
Seiring waktu, konsep locavore berkembang menjadi pernyataan budaya dan etika tentang tanggung jawab terhadap alam, penghargaan pada petani, serta kedaulatan bangsa atas apa yang dimakan rakyatnya.
“Sebenernya ini gerakan kita untuk memindahkan sumber pangan, supaya pertanian dan peternakan bisa maju. Ketika ketergantungan kecil, negara kita makin berdaulat,” kata Eep.
Selepas pendirian, ILS sudah menyiapkan sejumlah langkah praksis. Mulai dari mendirikan warung nasi berbasis bahan lokal terjangkau, membuat indeks Locavore se-Indonesia, hingga mendorong sertifikasi bagi pelaku usaha kuliner yang menggunakan bahan dari radius maksimal 120 kilometer.
Gerakan ini, kata Syarif, adalah bentuk sederhana dari nasionalisme yang bisa dilakukan siapa saja bahkan dari rumah.
“Ini bukan hanya soal makan, tapi tentang bagaimana kita mencintai tanah sendiri,” ujarnya.
Bagi Denny Chandra Iriana, keterlibatannya di ILS bukan soal popularitas, tapi soal kebersamaan dalam perubahan. “Kebersamaan ini pemikirannya bukan untuk diri sendiri, tapi untuk kemajuan bangsa,” ucapnya.
“Mulailah belanja lagi dari kios-kios. Dari situ, roda ekonomi lokal akan berputar,” Ajaknya.
Editor : Agung Bakti Sarasa
Artikel Terkait
