sebuah cerpen
oleh: Saep Lukman
Di tahun 2450, bahasa dan komunikasi telah mencapai puncak yang sebelumnya hanya dicapai dalam fiksi ilmiah. Namun, di balik gemerlap neon dan jaringan sibernetik, ada pertanyaan mendasar yang belum terjawab: Apa esensi komunikasi manusia? Di pusat pertanyaan inilah Profesor Maryam Oei, seorang filsuf terkemuka dan ahli neuro-linguistik, berdiri. Dia bukan hanya ilmuwan biasa; dia adalah penjaga api pengetahuan yang berani menyentuh sisi paling abstrak dari keberadaan manusia.
Proyek yang dikenal sebagai “Big Ekuinok” dimulai dengan langkah berani: kelahiran sepuluh bayi tabung yang dirancang dari kode genetika paling murni, diprogram untuk bebas dari warisan linguistik mana pun. Mereka ditempatkan di dalam sebuah fasilitas ultra-modern di Antartika—kawasan steril dan tertutup, dikelilingi oleh kubah transparan yang berkilau dengan panel surya berlapis nanosensor. Di sinilah Mariam memulai pengamatan terhadap kebangkitan bahasa yang tidak pernah diketahui sebelumnya.
Ruang Hampa Kata
Fasilitas itu, dikenal dengan sebutan Nukleus, adalah puncak teknologi bio-komputerisasi. Di bawah setiap lantai dan dinding, tersembunyi jaringan sinaptik buatan yang terhubung ke Neuro Corpus, superkomputer paling canggih yang ada pada abad itu. Neuro Corpus tidak hanya merekam perkembangan motorik dan mental bayi-bayi itu, tetapi juga melakukan simulasi dinamis dari setiap jalur saraf otak mereka, memetakan pikiran seperti peta konstelasi.
Di tengah keheningan artifisial, sepuluh bayi itu dibiarkan merangkak dan berinteraksi dengan cara yang hanya mereka pahami. Tidak ada satupun kata yang diperkenalkan, tidak ada warisan simbolis, dan tidak ada kode bahasa yang disusupkan. Mereka dibiarkan menjadi wadah kosong, kanvas putih yang siap dicoret oleh insting purba mereka.
Maryam mengamati dari ruang kontrol yang steril, matanya mencerminkan pendar cahaya biru dari antarmuka holografik. “Apakah manusia, tanpa beban masa lalu linguistik, mampu menciptakan simbol baru yang benar-benar asli?” gumamnya. Ia tahu bahwa jawaban atas pertanyaan itu akan mengubah pemahaman manusia tentang komunikasi selamanya.
Sajak Neurologis
Waktu berlalu dengan detak Neuro Corpus yang menggema seperti denyut nadi. Anak-anak mulai menunjukkan pola interaksi yang mengejutkan. Awalnya, mereka hanya bereaksi terhadap kehadiran satu sama lain: sentuhan lengan, gemeretak tawa tanpa suara, tatapan mata yang tajam. Namun, seiring dengan berkembangnya otak mereka, lahir pola-pola baru yang sulit diuraikan.
Anya, salah satu bayi dengan mata hijau cemerlang, menunjukkan tingkat kecerdasan yang jauh di atas normal. Dia mulai mengatur gerakan dengan ritme tertentu, ketukan jari di lantai yang menghasilkan pola. Bayi lain merespons dengan gerakan serupa, membentuk lingkaran komunikasi yang hanya mereka pahami. Neuro Corpus memancarkan data ke layar Maryam: aktivitas gelombang otak meningkat, sinyal elektromagnetik di antara mereka saling menyahut, menciptakan ekosistem komunikasi neurologis yang belum pernah terlihat.
“Ini adalah simfoni tanpa bunyi, sajak yang melampaui kata,” ujar Maryam dengan suara penuh kekaguman. Di ruang di mana bahasa manusia tak lagi relevan, lahir sebuah bentuk baru—Neuro Lyric, bahasa yang ditenun dari resonansi dan sinyal, diungkap melalui tubuh dan pandangan.
Algoritma Jiwa
Pada tahun kedua, Neuro Corpus mencatat peningkatan drastis dalam kapasitas jaringan saraf anak-anak. Otak mereka beradaptasi, memproduksi neurotransmitter khusus yang hanya bisa dipahami dengan model Neuromatika yang diciptakan oleh Maryam. Ini bukan sekadar permainan otak; ini adalah bukti bahwa bahasa, seperti spesies hidup, berevolusi. Mereka kini tidak lagi hanya menggerakkan tubuh atau menghasilkan suara tanpa makna, tetapi mengembangkan algoritma komunikasi yang mengintegrasikan gerakan, suara, dan sinyal elektromagnetik.
Anya bergerak dengan ketepatan seperti robot nanotek. Tangannya meluncur dengan pola yang diikuti anak-anak lain, membentuk ‘dialog’ yang membuat Neuro Corpus bersinar dengan denyutan data. Maryam menatap layar, matanya berbinar, wajahnya penuh kekaguman. “Bahasa ini melampaui kata. Ini adalah algoritma jiwa,” bisiknya.
Bayi-bayi itu tidak hanya menciptakan bahasa; mereka membentuk realitas mereka sendiri, jaringan komunikasi di mana makna mengalir tanpa batas, tidak terhalang oleh perantara simbolik.
Paradoks
Pada tahun ketiga, Maryam menyadari bahwa apa yang mereka temukan bukan hanya sebuah eksperimen akademis, tetapi suatu paradoks eksistensial. NeuroLyrika menjadi lebih dari sekadar cara untuk berbicara; itu menjadi cara untuk merasakan dan memanifestasikan emosi. Setiap gerakan, tatapan, dan getaran suara mengandung dimensi yang hanya bisa dipahami melalui spektrum pengalaman yang baru.
Neuro Corpus mulai memprediksi pola komunikasi mereka, tetapi sering kali gagal menangkap kompleksitas emosional dari Neuro Lyric. Ini adalah paradoks di mana teknologi tercanggih yang pernah diciptakan manusia tidak mampu menjelaskan manusia itu sendiri.
“Bahasa adalah cermin dari keberadaan,” ujar Maryam, “tetapi di sini, keberadaan menciptakan cermin baru.”
Sinyal dan Sunyi
Tahun kelima menjadi klimaks. Maryam memutuskan untuk masuk ke Nukleus, menyaksikan karya hidupnya dari dekat. Anya memimpin kelompok anak-anak yang kini berdiri tegak, menatap Maryam dengan mata yang dalam, seperti menatap inti kosmos. Mereka berbicara padanya tanpa kata, hanya dengan sentuhan sinyal yang dipahami melalui gemetar halus di udara.
Maryam merasakan sesuatu yang luar biasa. Sebuah getaran samar merayap ke jantungnya, seperti pesan yang dikirim oleh NeuroCorpus. Dalam keheningan itu, jawaban yang selama ini dicari Maryam tersingkap. NeuroLyrika bukanlah sekadar bahasa; ia adalah manifestasi dari kesadaran yang terhubung, realitas di mana pikiran bertautan tanpa perantara simbolis.
Bahasa baru ini tak bisa diajarkan, hanya bisa dirasakan. Profesor Maryam, dengan air mata di matanya, menyadari bahwa di dunia ini, di tahun 2450 yang dipenuhi mesin dan kode, manusia masih mampu menciptakan keajaiban yang tak bisa direduksi menjadi angka dan logika. Dalam sunyi yang penuh makna, Maryam mengakui kekalahan sekaligus kemenangan terbesar manusia: bahwa bahasa sejati adalah jiwa yang berbicara dengan sendirinya, tanpa suara, tanpa kata.
Di sinilah, di tengah puncak kemajuan, manusia menemukan kembali apa artinya menjadi manusia.
(Maryam Oei)
Sabtu, 2 November 2024
Penulis penikmat sastra, lagi belajar di MPBSI Universitas Suryakancana Cianjur
Editor : Ude D Gunadi