Kebijakan Populis Dedi Mulyadi Dikritik: Antara Gebrakan dan Pencitraan

BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Gaya kepemimpinan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menjadi sorotan publik setelah pegiat media sosial sekaligus komentator politik, Eko Kuntadhi, menyampaikan kritik tajam terhadap sejumlah kebijakan yang dinilainya lebih mengutamakan pencitraan ketimbang dampak jangka panjang.
Dalam pernyataannya, Eko menyoroti pendekatan komunikatif Dedi Mulyadi yang aktif di kanal YouTube pribadi. Ia menyamakan gaya konten Dedi dengan selebritas Baim Wong yang terkenal dengan tayangan emosional dan dramatis.
“YouTube-nya Dedi Mulyadi mirip Baim Wong, ada adegan menangis. Itu hiburan. Tapi gubernur tak bisa disamakan dengan artis. Ia punya tanggung jawab lebih besar,” tegas Eko, dikutip Minggu (13/4/2025).
Salah satu kebijakan yang disorot Eko adalah tindakan pembongkaran bangunan hiburan ilegal di kawasan Puncak yang dilakukan Dedi. Aksi tersebut dinarasikan sebagai solusi mengatasi banjir, namun Eko menganggap langkah itu terlalu simbolis dan tidak menyentuh akar permasalahan.
“Kalau hanya membongkar satu-dua bangunan, itu hanya show. Penanganan kawasan Puncak harus menyeluruh, menyasar ratusan bangunan ilegal. Kalau tidak, ini hanya tontonan untuk konten viral,” ujarnya.
Menurutnya, solusi yang dibutuhkan adalah penataan kawasan secara sistematis dan berkelanjutan, bukan sekadar tindakan yang menghasilkan tepuk tangan sementara di media sosial.
Kritik tak berhenti di sana. Eko juga mempertanyakan keadilan dari kebijakan pemutihan denda pajak kendaraan bermotor yang dinilai justru menguntungkan pihak yang tidak taat hukum.
“Mereka yang telat bayar pajak diberi insentif, sementara yang taat tak dapat apa-apa. Ini menciptakan insentif negatif dalam sistem perpajakan,” kata Eko.
Ia memperingatkan bahwa kebijakan populis semacam ini berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi pendapatan daerah. Diketahui, potensi kehilangan pendapatan dari pemutihan denda pajak bisa mencapai Rp30 triliun.
“Bayangkan, dana sebesar itu bisa digunakan untuk membangun sekolah, fasilitas umum, hingga bantuan sosial. Jika kebijakan ini tidak dikelola dengan bijak, masyarakat yang paling dirugikan,” imbuhnya.
Melalui kritiknya, Eko Kuntadhi menyoroti tantangan kepemimpinan di era digital, di mana popularitas di media sosial sering kali mengaburkan penilaian terhadap substansi kebijakan.
“Gubernur itu bukan YouTuber. Kita butuh pemimpin yang bukan hanya viral, tapi juga visioner,” tutup Eko.
Editor : Agung Bakti Sarasa