Menakar Keadilan Pendidikan: Catatan Kritis atas Kebijakan Larangan Penahanan Ijazah di Jawa Barat

SAYA masih ingat betul satu momen yang tak mudah dilupakan. Seorang kepala sekolah swasta, sahabat saya, mengirim pesan larut malam. “Ijazah anak-anak sudah selesai dicetak, Pak,” katanya. “Tapi masih ada belasan siswa yang belum lunas SPP-nya. Kalau saya serahkan semua ijazah itu sekarang, sekolah ini mungkin tidak bisa bertahan sampai tahun ajaran baru.”
Bukan karena dia tak peduli. Justru sebaliknya karena dia terlalu peduli. Ia tahu, guru-gurunya sudah tiga bulan belum digaji. Biaya listrik terus berjalan. Air harus tetap mengalir. Dan sekolah itu bukan sekolah negeri, yang mendapat sokongan penuh dari APBD/APBN tetapi sekolah tersebut merupakan sekolah swasta yang tidak.mendapat sokongan.penuh dari APBD/APBN, merka harus mencari cara bertahan dengan segala keterbatasan.
Di saat yang sama, saya membaca berita tentang larangan menahan ijazah. Kebijakan ini tentu lahir dari niat baik: ingin memastikan tidak ada anak yang kehilangan haknya hanya karena orang tuanya kesulitan membayar biaya pendidikan. Saya sepenuhnya paham, dan pada titik tertentu saya mendukung semangat itu.
Tapi sebagai seseorang yang sudah lama hidup dan tumbuh bersama para guru swasta, madrasah, dan pesantren, saya juga tahu: fakta di lapangan jauh lebih rumit. Banyak lembaga pendidikan swasta di Jawa Barat yang bertahan bukan karena bantuan pemerintah, tapi karena gotong royong orang tua, loyalitas guru, dan keteguhan hati para pengelolanya.
Menahan ijazah bukanlah pilihan ideal. Tapi sering kali, itu menjadi satu-satunya cara untuk menjaga keberlangsungan lembaga. Tanpa itu, tak sedikit sekolah yang akan kolaps secara perlahan dan diam-diam, tanpa ada yang tahu.
Karena itu, saya menulis catatan ini bukan untuk menentang kebijakan, melainkan untuk mengajak semua pihak, baik gubenur dan DPRD untuk mendengarkan dan membuka ruang dialog, untuk mendengarkan keluhan dari bawah, dan dan dapat menemukan solusi yang tidak sekadar menggugurkan kewajiban, tapi benar-benar adil bagi semua pihak.
Pendidikan yang adil bukan hanya soal memberi hak pada siswa, tapi juga memastikan para guru dan lembaga yang melayani mereka bisa bertahan dengan bermartabat. Ini bukan tentang menolak niat baik, tapi tentang merawat niat itu agar bisa berjalan bersama diatas realitas kenyataan.
Konstitusi kita menjanjikan sesuatu yang besar: setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Tapi janji itu kadang terdengar seperti gema yang jauh, terutama kalau kita menengok ke ruang-ruang kelas sederhana di pelosok negeri.
Saya pernah duduk di bangku panjang sebuah sekolah swasta kecil di desa. Dindingnya dari bilik bambu, papan tulisnya sudah buram, dan suara anak-anak belajar bersaing dengan suara ayam dan angin dari celah-celah jendela. Tapi semangat para gurunya, itu tak pernah pudar. Mereka mengajar dengan hati, penuh dengan keikhlasan yang sulit digambarkan.
Sayangnya, keikhlasan saja tidak cukup untuk menyalakan lampu, memperbaiki atap yang bocor, atau membayar gaji guru. Sekolah negeri bisa mengandalkan BOPD sekitar Rp1,86 juta per siswa per tahun. Sementara sekolah swasta, yang tak kalah berjasa, hanya mendapat BPMU sekitar Rp600 ribu. Padahal kebutuhan mereka sama bahkan kadang lebih besar karena mereka harus bertahan sendiri dan bayar gaji guru sendiri.
Kita perlu jembatan. Bukan hanya antara konstitusi dan realita, tapi juga antara rasa keadilan dan kebijakan. Karena pendidikan bukan sekadar soal angka di anggaran, tapi tentang masa depan anak-anak yang duduk rapi di bangku kayu, berharap suatu hari hidup mereka bisa berubah.
Saya percaya, semangat di balik larangan menahan ijazah adalah semangat yang baik. Siapa pun tentu tak ingin ada anak didik yang terhambat melanjutkan hidupnya hanya karena tunggakan biaya sekolah. Tapi kadang, niat baik saja tak cukup kalau tak disertai pemahaman akan kenyataan di lapangan.
Di banyak sekolah swasta, terutama yang kecil dan berada di pelosok, kebijakan ini justru menimbulkan kegamangan. Mereka bukan tidak mau mengikuti aturan, tapi mereka bingung harus mencari dana dari mana untuk menutup kebutuhan operasional yang terus berjalan.
Saya sering berdiskusi dengan kepala sekolah dan guru-guru swasta. Mereka bercerita, betapa beratnya menjalankan lembaga pendidikan dengan dana terbatas. Di satu sisi, mereka harus membayar gaji guru, listrik, air, perawatan bangunan. Di sisi lain, mereka paham betul kondisi wali murid yang memang sedang kesulitan ekonomi. Banyak yang datang ke sekolah hanya untuk minta waktu, bukan karena tak ingin membayar, tapi karena memang belum bisa.
Dalam situasi seperti ini, sekolah ada di tengah pusaran dilema. Jika mereka mengikuti aturan, kas sekolah bisa kosong, operasional terganggu, guru-guru bisa tak digaji. Tapi jika mereka mencoba bertahan dengan mekanisme lama, mereka dituding tak berperikemanusiaan. Padahal siapa pun tahu, sekolah-sekolah ini bukan institusi bisnis, tapi ruang pengabdian.
Inilah kenyataan yang sering luput dari perhatian pembuat kebijakan. Sekolah swasta yang sudah puluhan tahun ikut mencerdaskan bangsa, hari ini justru seperti berdiri sendiri. Mereka dituntut untuk taat aturan, tapi tak diberi dukungan nyata. Keadilan itu bukan hanya soal memberi hak kepada siswa, tapi juga mendengar jeritan lembaga pendidikan yang selama ini terus berjuang, meski dalam senyap.
PW Pergunu Jawa Barat telah menyampaikan beberapa usulan kepada DPRD Provinsi Jawa Barat. Harapannya, kebijakan tersebut bisa ditata ulang agar lebih rasional dan berkeadilan. Diantaranya ada beberapa poin penting yang kami sampaikan :
Pertama, Perlunya Regulasi yang kuat dengan Skema Kompensasi yang Jelas
Regulasi tersebut bisa berupa Peraturan Daerah atau Peraturan Gubenur terkait larangan penahanan ijazah yang di dalamnya, antara lain mengatur kompensasi anggaran pendidikan bagi sekolah swasta
Kedua, Pemerataan Standar Biaya Pendidikan
Idealnya, semua siswa baik negeri maupun swasta mendapat alokasi biaya minimum Rp3,5 juta per tahun baik itu dari kombinasi BOS, BPMU/BOPD dan atau lainnya yang bersumber dari APBD/APBN.
Ketiga, Bantuan Tunggakan Siswa (BTP)
Harus ada skema bantuan langsung ke sekolah sebagai pengganti tunggakan siswa yang tidak mampu bayar, agar operasional sekolah tidak terhambat dan siswa mendapatkan haknya.
Keempat, Penyetaraan Bantuan Sekolah Negeri dan Sekolah Swasta
Termasuk dalam akses sarana prasarana, sistem PPDB yang adil, dan program-program pendidikan lainnya.
Kelima, Insentif yang Layak bagi Guru dan Tenaga Pendidik di Sekolah Swasta
Guru dan Tenaga Pendidika di sekolah swasta harus mendapatkan insentif setara UMR yang bersumber dari APBD sebagai bentuk penghargaan terhadap pengabdian mereka.
Keenam, Pengangkatan PPPK dengan jalur Afirmasi bagi Guru dan Tenaga Kependidikan di Sekolah Swasta
Dibutuhkan jalur afirmatif untuk pengangkatan guru dan tenaga kependidikan di sekolah swasta menjadi PPPK, dan penempatannya di sekolah asal mereka.
Kami sadar betul bahwa, membela sekolah swasta bukan perkara yang populis. Tapi ini tentang keberpihakan dari sebuah kenyataan yang sulit. Bahwa pendidikan bukan hanya soal mencetak ijazah, tapi tentang memastikan setiap anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dari guru yang sejahtera di lembaga yang maju.
Mari kita ubah motto "Pendidikan Inklusif" menjadi kebijakan nyata. Kebijakan yang hadir bukan hanya di atas meja, tapi terasa di ruang-ruang kelas terutama di sekolah swasta. Pendidkan bagi semua masyarakat, bukan hanya milik orang kota dan orang kaya, oramg kampung dan rakyat miskin mempunyai hak yang sama.
PW Pergunu Jawa Barat mengajak anggota DPRD Provinsi Jawa Barat untuk turun tangan, mengawal isu ini secara tuntas dan menyeluruh. Karena keadilan dalam pendidikan bukan soal siapa yang kuat, tapi dalam pendidikam tidak boleh ada yang dimarginalkan.
Penulis adalah Ketua PW Pergunu Jawa Barat
Editor : Rizal Fadillah