IAW Soroti 5 Dugaan Pelanggaran Hukum Berat di Kasus Chromebook Kemendikbud!

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Penyelidikan atas proyek pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) era Nadiem Makarim memasuki babak baru.
Setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) memulai pengusutan pada sisi pengadaan perangkat keras, kini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut menyasar aspek layanan sistem operasi dan Google Cloud Platform (GCP).
Indonesian Audit Watch (IAW) menyebut langkah kedua lembaga penegak hukum tersebut sebagai bentuk dismantling yang harus diikuti pembongkaran total sistem kebijakan digital pendidikan nasional.
“Artinya jelas, ini bukan sekadar kasus markup pengadaan. Ini soal pengaruh korporasi global dalam kebijakan negara, soal data anak bangsa, dan tentang siapa yang sebenarnya mengendalikan sistem pendidikan digital Indonesia,” tegas Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus dalam keterangannya, Jumat (18/7/2025).
Menurut Iskandar, pemeriksaan belasan saksi yang dilakukan KPK dalam perkara tersebut, membuktikan upaya penegakan hukum tidak hanya fokus pada perangkat keras, tetapi juga integrasi sistem digital yang lebih dalam.
Sebelumnya, Kejagung mengidentifikasi indikasi pelanggaran pidana korupsi dalam pengadaan Chromebook, termasuk penyalahgunaan kewenangan dan dugaan pengadaan tanpa justifikasi teknis.
“Yang terjadi adalah operasi gabungan, sebuah lompatan ganda dalam membongkar modus kejahatan digital lintas lembaga,” katanya.
Iskandar menyebut nilai kontrak layanan Google Cloud mencapai Rp250 miliar per tahun selama lima tahun, mencakup penyimpanan data, sistem operasi, analitik, dan integrasi aplikasi. Namun, penggunaan layanan tersebut tidak diimbangi dengan transparansi dan perlindungan hukum terhadap data pelajar Indonesia.
“Tapi ironisnya, data anak didik Indonesia, dari identitas, pola belajar, hingga kebiasaan digital berpotensi disimpan dan dikelola oleh pihak asing. Tanpa persetujuan publik, tanpa perlindungan hukum, tanpa transparansi,” ujarnya.
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga memperkuat indikasi pelanggaran. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), BPK menemukan adanya harga antar-batch Chromebook fluktuatif tanpa dasar teknis, spesifikasi teknis dikunci hanya untuk vendor tertentu, dan sebanyak 685 ribu unit Chromebook (28%) menganggur di gudang. Tak hanya itu, proyek tersebut juga tidak memiliki evaluasi pasca-uji coba sejak 2019.
“Artinya, ini bukan hanya proyek gagal. Ini adalah rangkaian pelanggaran sistemik yang merugikan negara dan merusak integritas kebijakan pendidikan digital nasional,” tegas Iskandar.
Dari sisi hukum, IAW mencatat lima elemen utama yang menjadi dasar dugaan penyimpangan dalam kasus ini:
1. UU Tipikor (Pasal 2 dan 3): Indikasi penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara yang menguntungkan vendor tertentu, khususnya Datascrip sebagai rekanan tunggal.
2. UU PBJ (Pasal 22): Spesifikasi pengadaan didesain tertutup untuk vendor tertentu, melanggar prinsip pengadaan terbuka dan kompetitif.
3. UU PDP: Penggunaan Google Cloud tanpa mekanisme kontrol publik dianggap sebagai potensi pelanggaran hak privasi data anak-anak.
4. UU Pengaruh Tidak Sah terhadap Kebijakan Publik: Dugaan hubungan imbal balik antara investasi Google di sektor lain (termasuk Gojek) dan adopsi sistem operasi Google di Kemendikbudristek.
5. UU Keuangan Negara: Pemborosan anggaran hingga Rp1,98 triliun akibat pengadaan tanpa dasar kebutuhan dan tidak ada evaluasi pasca-pengujian.
Iskandar menjelaskan, langkah yang dilakukan Kejagung dan KPK merupakan operasi dismantling. Artinya, Kejagung fokus pada perangkat dan vendor, sementara KPK menggali jejak aliran komersial serta potensi pengaruh kebijakan oleh korporasi global.
“Bila keduanya disinergikan, maka akan terbongkar bukan hanya skema korupsi lokal, tetapi jejaring pengaruh transnasional dalam keputusan negara,” ujar Iskandar.
IAW merekomendasikan lima langkah strategis untuk menuntaskan kasus tersebut, yakni Audit gabungan Kejagung–KPK atas seluruh aspek pengadaan dan layanan, Permintaan dokumen kontrak GCP dan Chromebook melalui skema mutual legal assistance (MLA), Pemeriksaan oleh BSSN dan Kominfo terkait risiko keamanan data pelajar, Hearing DPR terhadap Google Indonesia dan Datascrip, dan Penguatan UU PDP untuk melarang penyimpanan data pelajar di luar negeri tanpa izin eksplisit.
“Ini lebih dari kasus korupsi. Tak cukup membongkar koperasi korup, kita harus bongkar seluruh sistem, dari perangkat keras hingga layanan cloud, agar data dan kebijakan digital anak bangsa benar-benar berada di tangan rakyat, bukan korporasi,” ungkapnya.
Bagi IAW, kasus Chromebook mencerminkan pertarungan besar antara kedaulatan digital nasional dan penetrasi pengaruh asing dalam sistem pendidikan. Pengadaan tersebut bukan sekadar soal markup barang, tetapi menyangkut siapa yang sesungguhnya mengendalikan infrastruktur pendidikan digital Indonesia.
“Masa masih ragu aparat hukum kita untuk segera menjerat Nadiem dengan fakta-fakta di Kejagung dan KPK? Hari ini, Kejagung dan KPK bergerak bersama. Besok, giliran kita semua yang harus menuntut, siapa sebenarnya yang memegang kendali atas masa depan digital anak-anak kita?” tutup Iskandar. (*)
Editor : Abdul Basir