Plasma Sawit Jadi Agenda Prioritas, Petani Adat Dapat Angin Segar
BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan hak plasma minimal 20 persen dari total areal perkebunan sawit kembali menemukan momentum. Tidak lagi sekadar aspirasi warga, negara mulai menunjukkan langkah nyata menata ulang sistem kemitraan agraria dan sektor perkebunan.
Contoh terbaru terlihat dari ruang mediasi Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, Sumatera Utara, Kamis (25/9/2025). Warga masyarakat adat Simangambat, Padang Lawas Utara, menuntut hak plasma dari PT Agrinas Palma Nusantara, perusahaan BUMN pengelola aset negara sitaan. Dalam perkara ini, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) juga menjadi tergugat.
Berbeda dari sebelumnya, warga datang bukan hanya dengan protes, tetapi juga solusi: kesepakatan tertulis, pelaksanaan bertahap, hingga sistem pengawasan transparan. Respons yang diterima pun cukup terbuka, karena Satgas PKH dan PT Agrinas mengakui bahwa plasma merupakan amanat undang-undang, bukan sekadar “bonus sosial”.
“Satgas PKH dan PT Agrinas mulai membuka diri, mengakui bahwa plasma memang amanat undang-undang. Mereka siap membuka diri terhadap usulan mediasi warga,” ujar Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Jumat (3/10/2025).
Hak Plasma Jadi Prioritas Pemerintah
Iskandar menilai bahwa sikap ini menandakan pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto sudah memasukkan isu plasma ke dalam agenda prioritas. Plasma tidak lagi dianggap sebagai kewajiban administratif semata, melainkan bagian dari program kesejahteraan rakyat.
Masalah realisasi plasma sawit sejatinya sudah lama menjadi sorotan. Data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan, selama 20 tahun terakhir, sebagian besar perusahaan sawit gagal memenuhi kewajiban plasma tepat waktu. Rata-rata keterlambatan mencapai 7,8–10 tahun, jauh dari batas waktu tiga tahun yang diatur regulasi.
Lebih ironis, hanya sekitar 12 persen perusahaan yang konsisten menjalankan kewajiban plasma. Sebagian dana kemitraan bahkan diselewengkan, nilainya mencapai Rp2,3 triliun. Selain itu, hampir setengah lahan plasma belum bersertifikat dan 78 persen program pembinaan teknis mangkrak.
Sejumlah perusahaan besar pun masuk catatan merah audit BPK, seperti Sinar Mas, Lonsum, Torganda, Wilmar, First Resources, Asian Agri, Astra Agro, Surya Dumai, hingga Musim Mas.
Dukungan Politik dari Riau
Sementara di Riau, dukungan politik datang dari DPRD. Ketua DPRD Riau Kaderismanto menyatakan semua fraksi sepakat membentuk Pansus Plasma 20 Persen. Langkah ini menyusul banyaknya pengaduan warga terkait ketidakpatuhan perusahaan sawit.
“Sudah terlalu banyak laporan dari warga tentang plasma ini. Pansus adalah komitmen kita membela rakyat,” tegasnya.
Kesamaan sikap antara warga, legislatif, dan negara dinilai mempertegas bahwa isu plasma kini memasuki fase baru: dari aturan normatif menjadi penegakan hukum konkret.
Aturan Hukum Plasma
Kewajiban plasma 20 persen diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dengan sanksi administratif hingga pidana 5 tahun penjara dan denda Rp10 miliar. Aturan itu diperkuat oleh PP Nomor 26 Tahun 2021, Permentan Nomor 98 Tahun 2013, dan Permentan Nomor 18 Tahun 2021.
“Selama ini aturan jelas. Yang hilang hanyalah itikad perusahaan dan ketegasan negara. Untung saat ini mulai berubah,” tegas Iskandar.
Komitmen PT Agrinas
Meski masih menunggu legalisasi status pengelolaan dan dukungan regulasi dari DPR RI, PT Agrinas Palma Nusantara menunjukkan sikap terbuka. BUMN ini menyatakan siap menjalankan kewajiban plasma sesuai aturan.
“Masyarakat menghargai sikap ini. Meski status hukum Agrinas belum sempurna, setidaknya sudah menunjukkan komitmen berbeda: mematuhi undang-undang, bukan melawannya,” ujar Iskandar.
Dorongan Audit dan Pengawasan
IAW mendorong langkah strategis untuk menuntaskan pelanggaran plasma:
Membuka database nasional kepatuhan perusahaan sawit terhadap plasma,
Membentuk Pansus Plasma di tiap provinsi,
Mencabut izin perusahaan abai,
Melakukan audit menyeluruh atas dugaan kerugian negara Rp2,3 triliun,
Menguatkan posisi koperasi petani agar independen.
Mediasi di Padangsidimpuan dinilai sebagai momentum penting. Negara mulai mengakui bahwa hak plasma sawit adalah kewajiban hukum, sementara dukungan politik di Riau mempertegas bahwa isu ini harus masuk agenda besar reformasi agraria nasional.
“Pertanyaannya tinggal satu: apakah Padangsidimpuan dan Riau akan menjadi awal babak baru penegakan plasma nasional, atau hanya catatan kecil dalam sejarah panjang pengkhianatan sawit?” pungkas Iskandar.
Editor : Rizal Fadillah