SUMEDANG, iNewsBandungRaya.id - Keheningan Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang yang berada di dataran tinggi pegunungan ini seketika berubah menjadi ramai selama sepekan penuh di bulan Agustus 2023.
Hal ini disebabkan, kecamatan yang dikenal dengan hasil palawija dan padi tersebut tengah digelar ritual Ngalaksa lengkap dengan Tarawangsa.
Ritual adat dan budaya ini digelar siang dan malam selama sepekan tanpa terputus. Upacara adat ini sudah ratusan tahun digelar.
Upacara adat penghormatan warga setempat kepada Dewi Sri perlambang padi ini merupakan bagian dari rangkaian festival budaya masyarakat agraris Jawa Barat.
Selama seminggu itu, lima rurukan (keturunan) di Rancakalong mulai dari Pasir Biru, Legok Picung, Cijere, Cibunar dan Rancakalong menggelar kebiasaan turun temurun ini.
Ngalaksa merupakan upacara membuat suatu makanan dari tepung padi (laksa) dengan bumbu garam, kelapa, kapur sirih yang diaduk dan dibungkus daun congkok lalu direbus memakai air daun combrang.
Saat pengolahan menjadi makanan itu digelar juga kesenian Jentreng dan Ngekngek atau lebih dikenal dengan Tarawangsa. Saat Tarawangsa mengalunkan bunyi mistis yang walaupun hanya instrumen bunyi kecapi khas berbunyi Jentreng dan sebuah Rebab yang bunyinya ngek tapi penari yang mengikuti irama itu seperti tersihir.
"Inilah kelebihan dari Tarawangsa di Rancakalong dan jangan sekali-kali Anda mencela tarian itu. Sebab jika terdengar oleh para nayaga dan tokoh yang ada di panggung sekali sentuh Anda akan menari tanpa bisa dihentikan," kata Tatang Sobana dari Dewan Kebudayaan Sumedang, Rabu (9/8/2023).
Rancakalong disebut daerah para seniman di Kabupaten Sumedang. Dari tahun 1990-an kesenian khas daerah Kabupaten Sumedang hampir 34 jenis kesenian berada dan berasal dari Rancakalong.
Rancakalong memiliki banyak seniman karena merupakan tempat hijrah dan sembunyi seniman saat pemerintahan Prabu Geusan Ulun sebagai pewaris kerajaan Pajajaran dengan Sumedang Larang.
Saat pertempuran Sumedang dengan Cirebon terjadi pemindahan pusat pemerintahan. Jika Geusan Ulun dan para prajuritnya hijrah ke Dayeuh Luhur. Sedangkan para seniman malah memilih Rancakalong yang berada di dataran tinggi sebagai tempat hijrahnya.
Ngalaksa muncul ketika kerajaan Mataram akan menyerang Batavia. Saat penyerangan itu semua makanan pokok seperti padi dipakai untuk logistik perang sehingga tiada lagi yang tersisa.
Sehingga paceklik melanda di Rancakalong yang menjadi lumbung padi. Warga setempat hanya makan hanjeli sebagai penganti beras. Untuk mencari benih padi ke Cirebon maka diutuslah sembilan orang untuk mengambil benih padi. Tetapi prajurit Mataram selalu merazia siapa saja yang membawa benih padi itu.
Sembilan utusan dari Rancakalong tidak kehabisan akal karena mereka membawa kecapi Ngekngek dan Rebab, maka benih padi itu disembunyikan di lubang resonansi rebab.
"Mereka juga bertingkah seperti pengamen dan menyembunyikan benih padi itu di resonansi rebab. Makannya gaya mengesek rebab itu dengan menganga dengkul kaki kiri menutupi resonansi rebab tempat disembunyikan benih padi itu," tandasnya.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait