JAKARTA, iNewsBandungRaya.id - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara), Petrus Selestinus meminta KPU mendiskualifikasi pasangan Capres-Cawapres 2024, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka guna mengembalikan legitimasi Pemilu 2024.
Hal ini buntut putusan DKPP yang menyatakan Ketua KPU Hasyim Asy'ari dan enam anggota KPU melanggar kode etik pedoman perilaku penyelenggara pemilu, Senin (5/2/2024).
Hasyim dan komisioner KPU melanggar etik lantaran tetap menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres. Akibat putusan tersebut, secara moral legitimasi KPU telah mengalami kehancuran di mata publik.
Petrus mendorong KPU untuk mengembalikan legitimasinya dengan mendeclare keputusan progresif. Menurutnya, putusan DKPP tersebut dapat berimplikasi hukum kepada tidak sah dan atau batal demi hukum status pencapresan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024.
“Maka KPU RI tidak punya pilihan lain selain harus berjiwa besar mendeclare sebuah keputusan progresif berupa mendiskualifikasi pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta pemilihan presiden dan wakil presiden 2024,” ucap Petrus dalam keterangannya, Selasa (6/2/2024).
KPU juga dimitan untuk memerintahkan partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) untuk mengajukan calon pengganti capres-cawapres atau pemilihan presiden 2024 tanpa Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Sebab, pencalonan keduanya sarat akan berbagai pelanggaran etik, hukum dan konstitusi, termasuk merujuk putusan No.99/PUU-XXI/2023, dan Putusan MKMK No. 2/MKMK/L/ARLTP/10/2023.
“Kemudian yang terakhir, menunda penyelenggaran Pemilu dalam waktu 2 x 14 Hari terhitung sejak tanggal 14 Februari 2024, agar Partai KIM mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden pengganti, akibat diskualifikasi terhadap capres Prabowo Subianto dan cawapres Gibran Rakabuming Raka,” jelasnya.
Petrus mengatakan, Gibran Rakabuming Raka tidak layak dan tidak sepatutnya menjadi cawapres 2024 mendampingi capres Prabowo Subianto. Hal ini karena Gibran memperoleh tiket cawapres dari KPU melalui perbuatan melanggar Hukum dan melanggar etika.
“Alasan hukumnya sangat kuat, karena keputusan KPU menetapkan GRR sebagai cawapres bertentangan dengan etika dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu, yang menurut UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan sebagai perbuatan melanggar hukum oleh pejabat pemerintah karena melanggar asas-asas umum pemerintahan,” terangnya.
Dia menambahkan, putusan DKPP ini harus dikawal pelaksanaannya agar bermanfaat bagi perbaikan terhadap prinsip demokrasi, kedaulatan rakyat dan konstitusi yang dilanggar sejak nepotisme dibangun Jokowi.
Selain itu, juga memperhatikan opini publik yang berkembang, terutama suara para sivitas akademika lintas perguruan tinggi negeri dan swasta sebagai representasi para intelektual, cendekiawan dan ilmuwan Indonesia yang netral
“Ini adalah kekuatan riil yang bergerak atas dasar rasa tangung jawab moral, etika dan hukum demi menyelamatkan Indonesia dari bahaya laten dinasti politik dan nepotisme Jokowi yang saat ini berkembang dan berdaya rusak tinggi,” imbuhnya.
Untuk diketahui, Ketua KPU Hasyim Asy'ari terbukti melanggar etik dalam menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka yang didaftarkan sebagai calon wakil presiden dan mengikuti tahapan Pilpres 2024. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutus Hasyim Asy'ari dan enam anggota KPU melanggar kode etik pedoman perilaku penyelenggara pemilu, Senin (5/2/2024).
Dalam amar putusan DKPP No. 135-136-137-141-PKE-DKPP/XII/2023, teradu yakni Ketua KPU Hasyim Asy'ari, dan enam anggota KPU yaitu Yulianto Sudrajat, Agus Mellaz, Betty Epsillon Idroos, Persadaan Harahap, Idham Holik dan Mochammad Afifuddin, semuanya, terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
Karenanya, DKPP dalam pertimbangan dan kesimpulannya memutuskan menjatuhkan sanksi adminsitratif berupa peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy'ari (Ketua KPU), sedangkan enam Komisoner KPU lainnya dijatuhkan sanksi adminsitratif berupa peringatan keras.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait