BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) turut memberikan tanggapan soal imbauan pemerintah kepada stasiun televisi (TV) untuk menyiarkan azan magrib secara running text atau teks berjalan.
Ketua Umum PP Persis, Jeje Zaenudin mengatakan bahwa secara hukum fikih mengubah atau mengganti kumandang azan dengan running text tidak termasuk pelanggaran syari’at. Sebab, azan yang dikumandangkan TV selama ini hanya sebatas rekaman suara.
Sedangkan syari’at azan itu, lanjut Jeje, dikumandangkan di tempat salat pada saat datangnya waktu salat.
“Jadi tidak ada kumandang azan di TV tidaklah menjadi masalah hukum syariat. Dan selama ini juga yang dikumandangkan di TV itu hanya azan magrib dan subuh,” ucap Jeje dilansir dari laman Persis, Kamis (5/9/2024).
Hanya saja, jika yang menjadi alasan perubahan itu berkenaan dengan adanya acara ibadah agama lain, maka hal tersebutlah yang akan menjadi persoalan. Sebab, di sana sudah ada ketersinggungan budaya atas syi’ar agama.
"Jika yang dijadikan alasan perubahan kumandang azan menjadi running text itu karena berbarengan dengan adanya acara ibadah agama lain, seperti karena ada penayangan Misa umat Katolik, hal ini tentu menjadi persoalan," katanya.
Menurutnya, persoalannya dilihat dari banyak aspek. Seperti pertanyaan masyarakat terkait pelaksanaan Misa yang tidak mengambil waktu antara jam 15.30 sd 17.30 WIB sehingga tidak bertabrakan dengan waktu azan magrib.
"Atau mengapa harus ditiadakan kumandang azan di semua stasiun televisi, padahal mayoritas penonton TV adalah umat Islam? Belum lagi jika dikaitkan dengan aspek etika dan keadaban, penghormatan atas adat budaya religi bangsa Indonesia," terangnya.
Oleh karena itu, kata Jeje, jika sudah menyentuh aspek sensitif dari budaya keagamaan yang dianut oleh suatu bangsa, maka persoalannya menjadi besar. Sebab, di sana sudah ada ketersinggungan budaya.
“Ketersinggungan budaya atas syiar agama, ini harusnya dipahami dan dihindari secara bijaksana. Apalagi momennya adalah kehadiran tamu yang dimuliakan,” imbuhnya.
Jeje kemudian menyoroti pernyataan mengapa kegiatan keagamaan suatu kelompok harus meniadakan kegiatan syiar agama kelompok lain, apalagi mayoritas.
“Ada pepatah, di mana bumi diinjak, di sana langit di junjung. Artinya, tamu harus menghormati tata budaya dan syiar agama masyarakat setempat,” sebutnya.
Jeje mengatakan bahwa pemerintah tidak selayaknya mengeluarkan imbauan untuk penggantian siaran azan di TV atas dasar adanya siaran langsung acara Misa Akbar. Karena itu justru akan menimbulkan ketersinggungan masyarakat muslim.
"Jangan sampai keberatan yang disampaikan oleh sebagaian masyarakat Indonesia dipahami sebagai bentuk intoleransi," ujarnya.
Sebab menurutnya, masyarakat Indonesia sudah sangat toleran dengan menerima kehadiran Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik di negeri ini.
“Terbukti dengan keterbukaan menerima pemimpin tertinggi umat Katolik hadir di negeri ini. Tetapi harus dipahami sebagai bentuk saling menghargai dan menghormati syiar keagamaan masing-masing,” tandasnya.
Untuk diketahui, Kementerian Agama (Kemenag) mengimbau stasiun TV mengganti siaran azan magrib dengan running text atau teks berjalan saat pelaksanaan misa akbar yang dipimpin Paus Fransiskus di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta pada Kamis (5/9/2024).
Imbauan itu disampaikan oleh Kemenag kepada Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) melalui surat edaran.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait