BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat menyelenggarakan acara Focus Group Discussion Penyusunan Laporan Evaluasi Pemilu tahun 2024 pada Senin (30/9/2024).
Kegiatan tersebut dihadiri oleh Ketua KPU Jabar, yakni Ummi Wahyuni yang oleh anggota KPU Jabar, Abdullah Sapi'i, Hari Nazarudin, Aneu Nursifah dan sekretariat KPU Jabar, Achmad beserta para fungsionaris dan jajaran KPU Jabar.
Pemaparan materi, dipimpin Kepala Bagian Perencanaan, Data dan Informasi KPU Jabar, Sutrisno.
Materi pertama, disampaikan oleh Ramadhan Pancasilawan dengan tema Verifikasi dan Klarifikasi Data Evaluasi Pemilu serentak 2024.
Dalam pemaparannya, Ramadhan menyampaikan, total hasil sengketa pemilu di Indonesia sangat banyak sekali, yang terdata terdapat 297 permohonan dan 106 permohonan ditindaklanjuti MK.
“Kemudian terdapat 44 permohonan yang dikabulkan dengan amar putusan putusan seperti pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU), Penghitungan Surat Suara Ulang (PSSU), maupun penyandingan data,” papar Ramadhan.
Ramadhan mengatakan, jumlah anggaran yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan Pemilu 2024 mencapai Rp71,8 T.
“Jumlah ini merupakan alokasi anggaran total yang penggunaannya telah dilaksanakan sejak tahun 2022 hingga 2024 dimana proses atau tahapan pemilu mulai dilaksanakan pada tahun 2022,” ujarnya.
Pada tahun 2022, Pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp3,1 T, kemudian meningkat pada tahun 2023 menjadi sebesar Rp30,4 T dan saat terselenggaranya pemilu pada tahun 2024 alokasi anggaran terus bertambah mencapai Rp38,3 T.
Selanjutnya, Ramadhan menjabarkan terkait model evaluasi. Yang diantaranya yakni, model Evaluasi Perumusan Kebijakan, Evaluasi Implementasi Kebijakan, Evaluasi Lingkungan Kebijakan, Evaluasi Kinerja Kebijakan.
“Tujuan Evaluasi Pemilu serentak adalah Menilai penyelenggaraan pemilu tahun 2024 serta membangun model dan standar pemilu,” katanya.
Sementara, manfaat evaluasi pemilu serentak merupakan FGD untuk mengenali hal-hal yang menjadi non normatif dan apa yang menjadi kebutuhan untuk pemilu kedepan berdasarkan proses pemilu tahun 2024.
Materi kedua, disampaikan oleh Fahmi Iswahjudi dengan tema Catatan-catatan Evaluasi Pemilu tahun 2024 dengan Model FGD.
Fahmi mengatakan, metode FGD ini merupakan metode kualitatif untuk mengumpulkan data melalui survey atau pengumpulan data narasumber. Metode FGD ini digunakan hanya untuk mempertebal atau melengkapi sesuatu yang dibutuhkan.
“Sejak 2017 Indeks demokrasi Indonesia ini turun, saya melihat dari indikator dari sumber Economist Intelligence Unit (EIU) Indonesia sering turun 2/3 peringkat pertahun dengan variabel : 1. Proses Pemilu dan Pluralisme (7,92) 2. Fungsi Pemerintah (7,86) 3. Partisipasi Politik (7,22) 4. Budaya Politik (4,38) 5. Kebebasan Sipil (6,18),” paparnya.
Evaluasi Pelaporan merupakan mandat dari Pasal 12 UU Nomor 7 Tahun 2017 untuk membaca persoalan dan permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024 dan merumuskan kebijakan kebijakan yang lebih baik untuk pemilu kedepan.
Fahmi mengatakan, area evaluasi penyelenggaraan Pemilu sangat banyak sekali seperti Alas Regulasi/Kerangka Hukum Pemilu, Digitalisasi Administrasi Pemilu dan Partisipasi Politik.
“Pemilu ini hanya direduksi jika partisipasi masyarakat banyak maka akan dianggap baik dan jika partisipasi masyarakat rendah maka pemilu dianggap buruk,” tandasnya.
Materi ketiga, disampaikan oleh Nina Yuningsih dengan tema Evaluasi Komprehensif Pemilu 2024: Refleksi Menuju Demokrasi Berkualitas.
Nina mengatakan, apakah demokrasi di Indonesia sudah berkualitas? tentu saja demokrasi di Indonesia sudah berkualitas namun sejauh mana, Pemilu sebagai pilar demokrasi harus selalu ditingkatkan kualitasnya.
“Dalam data yang didapat Masyarakat cukup puas terhadap penyelenggaraan pemilu 2024 dengan nilai 56,3 % dan kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang Jujur dan Adil nilainya pun cukup tinggi yakni 60,7%,” ungkap Nina.
Lanjut, Nina mengatakan, refleksi evaluasi Pemilu diharapkan membantu mengidentifikasi area yang perlu perbaikan dan peluang untuk meningkatkan kualitas demokrasi.
Materi keempat, disampaikan oleh Jojo Rohi dengan tema Pengayaan Perspektif Pilkada 2024 dan Relevansinya Dengan Realitas Politik.
Jojo mengatakan, lembaga atau badan hukum dapat dimanipulasi sedemikian rupa untuk mendapatkan legitimasi hukum yang dianggap tidak fair.
“Dicontohkan pada saat MK nomor 70 dan kemudian baleg DPR RI mencoba menyiasati untuk merevisi undang undang pilkada, lalu kemudian itu gagal karena di demo oleh para mahasiswa dan para aktivis demokrasi,” ungkapnya.
Terkait hal itu, menurutnya ada satu upaya “legal” prosesnya, tetapi itu termasuk dalam kategori tidak fair. Jadi yang kemarin dilakukan DPR untuk merevisi undang-undang pilkada itu ada salah satu klausul didalamnya.
“Jadi saya ingin mengatakan bahwa ada gejala lembaga atau institusi hukum itu bisa dimanipulasi sedemikian rupa sehingga dapat mengancam keberlangsungan pemilu kita yang jujur dan adil serta demokratis,” katanya.
Jojo mengatakan, pemilu dapat dikatakan demokratis apabila ada beberapa indikator salah satunya adalah pemantau internasional dan kehadiran pemantau domestic.
“Nah jadi di Indonesia teori ini cocok karena pemilu di Indonesia ada yang namanya pemantau pemilu yang menggambarkan bahwa Indonesia merupakan Negara yang demokratis,” ujarnya.
Untuk itu, Jojo berpesan sebagai salah satu negara dengan tingkat kompleksitas tertinggi di dunia dalam pelaksanaan Pemilu, Indonesia merupakan avant-garde demokrasi di kawasan Asia.
“Semoga bangsa Indonesia dapat melewati tantangan Pemilu/Pilkada 2024,” tandasnya.
Editor : Zhafran Pramoedya
Artikel Terkait