BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Ekonom konstitusi Defiyan Cori mencermati laporan keuangan PT Semen Indonesia periode 2021 dan 2022. Defiyan menilai laporan keuangan itu patut dipertanyakan karena secara kuantitatif tidak masuk akal (make sense).
Defiyan Cori mengatakan, berdasarkan telaah, laporan keuangan PT Semen Indonesia patut dipertanyakan karena secara kuantitatif tidak masuk akal.
Jika dibandingkan antara laporan keuangan periode 2021 dengan 2022, terjadi penurunan pendapatan yang sangat drastis sebesar 30 persen atau senilai Rp41,474 triliun.
"Keganjilan penurunan pendapatan BUMN holding industri semen ini menjadi pertanyaan besar bagi publik. Pasalnya, tidak ada penurunan harga produk semen pada 2022. Padahal logikanya, penurunan pendapatan masih masuk akal jika terjadi pada tahun buku 2021 di masa merebaknya Covid-19," kata Cori.
Apalagi, ujar Cori, pembangunan infrastruktur kala itu sedang gencar dilakukan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sehingga membutuhkan jumlah semen dalam skala besar.
Cori menengarai ada pemolesan angka atau window dressing alias manipulasi laporan keuangan yang diduga dilakukan internal PT Semen Indonesia. Pertanyaan publik atas kinerja direksi dan pengawasan oleh komisaris PT Semen Indonesia berdasar laporan keuangan tersebut, mengarah kepada dugaan pemolesan angka atau ada unsur manipulasi.
"Kalau hal ini terjadi tentu yang paling bertanggung jawab di internal PT Semen Indonesia adalah Sistem Pengawasan Internal (SPI) atau internal auditor," ujar alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Lantas bagaimana dengan pemeriksaan atau audit dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) atas keganjilan laporan keuangan tersebut, khususnya pada pos pendapatan?
Cori menuturkan, laporan pemeriksaan BPK RI pada periode 2021 dan 2022 atas laporan keuangan korporasi tersebut, harus dicermati.
Berdasar laporan keuangan yang telah dipublikasi itu, laba bersih PT Semen Indonesia Tbk (kode BEI: SMGR) tercatat sejumlah Rp2,021 triliun pada tahun 2021, atau turun 27,6 persen dibandingkan tahun 2020 yang mencapai Rp2,792 triliun.
Kondisi tersebut terjadi karena pendapatan yang tergerus sebesar 0,6 persen menjadi Rp34,957 triliun. Rinciannya, yaitu penjualan semen turun 1,72 persen menjadi Rp28,543 triliun.
Begitu pula halnya dengan penjualan beton jadi dan siap pakai, yang merosot 3,2 persen menjadi Rp1,761 triliun. Namun penjualan terak tumbuh 10,4 persen menjadi Rp3,195 triliun.
"Lalu, pada periode 2022 kenapa terjadi penurunan pendapatan? Jika memang misalnya kecenderungan penjualan semen di dalam negeri lesu atau kalah bersaing dengan semen impor, tentu ada upaya manajemen strategis yang harus dilakukan jajaran direksi dan komisaris BUMN ini!" tutur Cori.
Editor : Ude D Gunadi
Artikel Terkait