BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Pemerintah Indonesia perlu serius membenahi 20 wilayah metropolitan jika ingin mewujudkan ekonomi inklusif dan berkelanjutan sebesar 8 persen pada tahun 2029.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan penggunaan infrastruktur yang sudah ada, sekaligus melakukan penyelesaian lahan perkotaan dan tata ruang.
Diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen pada tahun 2029 merupakan target dari Presiden Prabowo Subianto.
Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota (IAP) Indonesia, Hendricus Andy Simarmata mengatakan pembenahan 20 wilayah metropolitan bisa memaksimalkan kontribusi perkotaan untuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) nasional.
“(PDRB) metropolitan sebenarnya sangat besar, apabila masalah kemacetan, lingkungan dan keterbatasan infrastruktur dasar lainnya dapat diatasi. Masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan urbanisasi menjadi tidak produktif atau tidak optimal karena terdapat biaya-biaya tambahan yang dikeluarkan,” kata Andy dalam keterangannya, Senin (25/11/2024).
Saat ini, Indonesia berada di persimpangan antara tantangan besar dan peluang transformatif. Pada tahun 2045, lebih dari 65 persen penduduk Indonesia diproyeksikan akan bertempat tinggal perkotaan.
Oleh karena itu, pembenahan pada 20 Wilayah Metropolitan menjadi agenda penting di Indonesia. Pembenahan ini menyangkut kualitas hidup dari lebih 65 persen populasi di perkotaan pada tahun 2045.
"Jika kita ingin masyarakat Indonesia sehat dan kompetitif, maka perencana maupun pemangku kepentingan harus memperbaiki kualitas hidup di wilayah perkotaan terlebih dahulu," ucap Andy.
Pusat dan daerah perlu bekerja keras dalam upaya pembenahan wilayah metropolitan. Pembenahan dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan infrastruktur yang sudah ada.
Infrastruktur yang telah dimanfaatkan secara optimal akan mendukung terciptanya kelayakhunian metropolitan yang mendukung produktifitas masyarakat perkotaan. Peningkatan produktivitas masyarakat akan mendukung ekosistem kegiatan ekonomi yang sehat.
“Indonesia di mata investor global itu attractive tetapi belum kompetitif, untuk itu perlu membenahi wilayah perkotaan metropolitan dengan mengoptimalkan penggunaan infrastruktur yang sudah ada dan pengadaan lahan perkotaan dan tata ruang untuk infrastruktur baru,” jelasnya.
Penyelesaian masalah lahan perkotaan dan tata ruang perlu memperhatikan beberapa kondisi di antaranya, sulitnya pembebasan tanah karena potensi konflik tenurial dan waktu pembebasan tanah yang lama, sehingga perlu alternatif skema lain selain melalui pemberian kompensasi.
Hal ini yang akan menjadi pendorong kuat kawasan metropolitan menjadi lebih kompetitif serta akan menarik investasi pada skala nasional dan internasional.
“Mobilisasi orang, barang, informasi, modal, serta sumber daya alam lainnya dalam dan antar Metropolitan secara efisien dan efektif akan menjadikan indonesia smakin kompetitif, shingga mampu menarik banyaknya investasi, meningkatkan konsumsi masyarakat dan volume ekspor," tuturnya.
"Hal inilah yang berimplikasi pada naiknya pertumbuhan ekonomi di Indonesia sesuai dengan target tahun 2029 sebesar delapan persen,” lanjutnya.
Andy sudah membahas isu ini dalam diskusi bertajuk The 2nd Rebana Expo: Asia-Pacific Metropolitan Planning Caucus yang diselenggarakan di Linggarjati, Kuningan, pada pertengahan pekan lalu.
Selain itu, diskusi pun mencakup pengelolaan aglomerasi perkotaan ini juga membahas solusi lain seperti property tax, development charges, vehicle tax, bond dan obligasi sbagai alternatif pembiayaan pengelolaan metropolitan.
Kegiatan ini dihadiri oleh lebih dari 100 perencana dari 15 negara. Para perencana saling bertukar pengalaman dan keilmuan dalam menyusun langkah-langkah praktis pengelolaan aglomerasi perkotaan.
Sementara itu, Kepala Badan Pengelola Rebana, Bernardus Djonoputro mengatakan, wilayah yang diharapkan menjadi motor penggerak perekonomian Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam pembangunan berkelanjutan.
Salah satu tantangan utama adalah disparitas pembangunan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Kesenjangannya bisa terlihat dalam akses layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
"Ketimpangan ini dapat memicu migrasi yang tidak terkendali, memperburuk masalah sosial, dan menekan sumber daya kota," ujarnya.
Oleh karena itu, Bernardus menekankan pentingnya kebijakan terpadu untuk mendukung pembangunan pedesaan. Rebana berpotensi menjadi pusat industri manufaktur dan logistik yang menciptakan lapangan kerja besar-besaran.
Namun, pengembangan ini memerlukan perhatian khusus terhadap integrasi dengan komunitas lokal.
"Pembangunan industri harus melibatkan masyarakat sekitar. Kita harus memastikan transfer keterampilan terjadi dan manfaat ekonomi dirasakan secara langsung. Selain itu, diversifikasi ekonomi menjadi keharusan untuk mengurangi ketergantungan pada sektor tertentu," tandasnya.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait