BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Wakil Dekan 1 Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara (FH Uninus), Ahmad Jamaludin menegaskan pentingnya pelibatan DPRD dan masyarakat dalam proses pergeseran anggaran.
Hal itu disapaikan Ahmad di acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Ruang Pergerakan Hukum dan Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia (ISMAHI) Korwil Jabar, di Karsa Space - Cafe & Working Space, Selasa (18/3/2025).
FGD ini mengambil tema "Kedudukan dan Implikasi Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 900/833/SJ Tentang Efisiensi Belanja Daerah Serta Urgensi Pelibatan Masyarakat dalam Pergeseran Anggaran".
Menurutnya, langkah ini strategis untuk memastikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat terakomodasi dengan baik.
"Pelibatan masyarakat dalam proses pergeseran anggaran adalah langkah strategis untuk memastikan bahwa kebutuhan dan aspirasi masyarakat terakomodasi dengan baik," ucap Ahmad.
Namun, ia menekankan bahwa pergeseran anggaran harus dilakukan sesuai dengan tahapan dan mekanisme perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dia merujuk pada Permendagri 15 Tahun 2024, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2019, dan UU Pemerintahan Daerah.
"Pergeseran anggaran adalah satu dari beberapa hal yang menyebabkan perubahan APBD. Oleh karena itu semua tahapan efesiensi anggaran melalui pergeseran anggaran harus sesuai dengan tahapan atau mekanisme perubahan APBD sebagaimana diatur dalam point 4.7 Permendagri 15 Tahun 2024, Pasal 163 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 316 UU Pemerintahan Daerah," jelasnya.
Ahmad menyoroti Surat Edaran (SE) Mendagri yang mengatur efisiensi belanja daerah melalui pergeseran anggaran. Ia mempertanyakan apakah efisiensi belanja termasuk dalam kondisi darurat dan mendesak yang memperbolehkan pergeseran anggaran.
"Sebab, jika melihat pergeseran anggaran yang dilakukan atas efesiensi, seperti pada poin 2 dan 3 Surat Edaran Mendagri, ini jelas-jelas merupakan pergeseran anggaran yang menyebabkan perubahan APBD," katanya.
"Pertanyaannya, apakah efesiensi belanja masuk pada keadaan kondisi darurat dan mendesak? Kan tidak," lanjutnya.
Ahmad berharap pemerintah daerah dapat lebih transparan dan akuntabel dalam pengelolaan anggaran, serta melibatkan masyarakat secara aktif dalam setiap tahapan pengambilan keputusan terkait anggaran.
Di tempat yang sama, Dosen Fisip Unpas/Peneliti IPRC, Fahmy iss Wahyudi mengatakan, seluruh Kepala Daerah dalam melaksanakan penyesuaian efesiensi belanja daerah harus patuh pada seluruh peraturan dari UU, peraturan pemerintah dan peraturan Menteri, bukan hanya SE.
Dari berbagai mekanisme dan tahapan yang perlu dipatuhi oleh kepala daerah dan DPRD, yang lebih penting adalah pelibatan masyarakat.
"Pergeseran anggaran karena efesiensi belanja daerah ini harus transparan dan partisipatif agar output dan outcome-nya jelas untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat," ucap Fahmy.
Fahmy menyebut, dari 7 kegiatan atau program yang menjadi objek hasil efesiensi, ada prioritas berorientasi penciptaan lapangan pekerjaan. Pemerintah daerah bisa memasukan kegiatan apa saja seolah-olah masuk pada priroitas lainnya untuk penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.
"Itulah pentingnya partisipasi masyarakat yang telah diamanatkan oleh UU Pemda. Selain itu, DPRD harus bisa menjadi penyeimbang agar tidak terjadi executive heavy atau dominasi kepala daerah dalam pergeseran anggaran atas efesiensi belanja daerah, karena fungsi budgeter DPRD sudah jelas diamanatakan juga dalam UU Pemerintahan Daerah," terangnya.
Sementara itu, Koordinator Wilayah ISMAHI Jabar, M. Zaky Noor, menyoroti kedudukan Surat Edaran (SE) Mendagri yang sering kali disamakan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat regeling, yaitu mengikat secara umum sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Padahal, SE bukanlah regeling. Terlepas dari perdebatan tersebut, SE tetap memiliki dasar hukum. Oleh karena itu, sepanjang materi dalam SE dipahami dan dipastikan sesuai dengan aturan yang lebih tinggi, keberadaannya tetap sah.
Namun, jika SE ditafsirkan atau diterapkan secara berbeda dari aturan di atasnya, maka SE tersebut batal demi hukum.
"Kami melakukan pendalaman terkait materi dan penerapan SE ini. Jika ditemukan kekeliruan, tidak menutup kemungkinan ISMAHI akan mengajukan uji materi SE ini ke Mahkamah Agung (MA)," ucap Zaky.
"Dalam perkembangannya, terdapat putusan yang menerima permohonan uji materi karena menganggap SE sebagai objek hak uji materiil di MA, namun ada pula putusan yang menolaknya karena memandang SE bukan sebagai objek hak uji materi di MA," sambungnya.
Di hadapan peserta FGD yang kebanyakan Generazi Z, Zaky juga menyinggung sosok Gubernur Jabar Dedi Mulyadi yang aktif mengabarkan kegiatannya melalui media sosial pribadinya. Bahkan, Dedi juga tak jarang mempublikasikan penyelenggaraan pemerintahannya.
Zaky berharap, publikasi melalui media sosial pribadi Dedi Mulyadi tidak hanya berisi kegiatan karikatif atau seremonial semata, tetapi juga mencakup hal-hal yang lebih substantif dan strategis.
"Misalnya, rapat-rapat penentuan anggaran dan kegiatan, termasuk alokasi sekian miliar untuk suatu program dan sekian triliun untuk lainnya, sebaiknya disiarkan secara langsung di media sosial," katanya.
Dengan begitu, masyarakat dapat mengetahui perdebatan terkait penggunaan anggaran serta keberpihakan para pejabat dalam mengambil keputusan.
"Langkah ini tidak hanya meningkatkan transparansi pemerintahan, tetapi juga mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan," tandasnya.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait