BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Di lereng sejuk kawasan Megamendung, Jawa Barat, di tengah semangat pelestarian alam dan geliat pertanian organik yang diusung oleh Yayasan Paseban lewat inisiatif Arista Montana, tumbuh sebuah harapan yang tak sekadar berakar di tanah. Namanya pohon jampinang—Hopea sangal Korth—sebuah spesies langka yang perlahan menarik perhatian karena lebih dari sekadar pohon: ia adalah lambang nilai-nilai Pancasila, sekaligus simbol kesadaran baru tentang hubungan manusia dan alam.
Dari Kaki Gunung Arjuno ke Jantung Kesadaran Ekologis
Jampinang bukan pendatang baru di tanah Nusantara. Ia adalah anggota keluarga Dipterocarpaceae, satu rumpun dengan meranti yang banyak dijumpai di hutan tropis Asia Tenggara. Namun di Pulau Jawa, keberadaannya tergolong langka, bahkan nyaris terlupakan. Baru pada 2002, komunitas budaya Among Jitun menemukan kembali eksistensi pohon ini di lereng Gunung Arjuno, Pasuruan, Jawa Timur.
Di sana, jampinang tumbuh kokoh di atas mata air abadi—tempat di mana air tak pernah berhenti mengalir. Sebuah pertanda kuat akan kehidupan yang terus berdenyut, kesinambungan, dan kesuburan alam. Ia bukan sekadar peneduh, tetapi juga penjaga spiritual bagi lingkungan di sekitarnya.
Simbolisme Pancasila dalam Setiap Bagian Pohon
Mengapa jampinang disebut Pohon Pancasila? Jawabannya bukan hanya terletak pada kekuatan fisiknya, tetapi juga pada pesan simbolik yang dipancarkannya. Akar yang menghujam dalam diyakini mencerminkan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Batangnya yang tegak dan kokoh menyimbolkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Kanopi lebat yang menaungi tanah melambangkan persatuan Indonesia.
Buahnya yang kecil namun berguna diasosiasikan dengan musyawarah untuk mufakat, dan daya hidupnya yang luar biasa mewakili keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tak heran jika pada tahun 2018, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), bersama komunitas Among Jitun dan Gerakan Ngertakeun Bumi Lamba, menetapkan jampinang sebagai Pohon Pemersatu Bangsa.
"Penanaman pohon ini bukan hanya soal menjaga hutan, tetapi bentuk penghormatan pada nilai-nilai bangsa yang mulai tergerus zaman," ungkap Andy Utama, Pembina Yayasan Paseban.
Aroma Getah, Bahasa Hening dari Alam
Salah satu hal unik dari jampinang adalah getah beningnya yang menetes dari batang, membentuk kristal alami dengan aroma lembut. Bagi komunitas pelestari, ini adalah "bahasa alam"—sebuah undangan bagi manusia untuk berhenti sejenak, merenung, dan mengingat kembali bahwa tanah, air, udara, dan kehidupan bukan entitas terpisah, melainkan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Menurut Dr. Retno Aryani, ahli botani dan dosen Ekologi Hutan di IPB University, "Hopea sangal bukan hanya tanaman endemik yang langka, tetapi juga indikator penting bagi kesehatan hutan tropis yang asli. Kelestariannya mencerminkan kondisi ekologis suatu kawasan."
Pertanian Organik dan Kesadaran Baru
Jampinang juga menjadi pilar spiritual dalam gerakan pertanian organik yang dikembangkan oleh Yayasan Paseban. Di kawasan Arista Montana, pertanian tak hanya dimaknai sebagai cara bertani, tetapi sebagai filosofi hidup: sebuah relasi saling menghormati antara manusia dan alam.
Alih-alih mengeksploitasi, pendekatan ini menumbuhkan kembali keterhubungan manusia dengan tanah. Hutan bukan lagi sekadar "sumber daya", tetapi rumah bersama bagi semua makhluk. Termasuk jampinang, yang berdiri sebagai penjaga nilai dan penjaga keseimbangan.
Menyemai Harapan Baru dari Bibit Warisan
Kini, komunitas Among Jitun tak hanya menjaga pohon jampinang yang ditemukan di Arjuno, tapi juga menyebarkan bibitnya ke berbagai penjuru Nusantara. Dalam tiap biji yang ditanam, terkandung harapan akan kebangkitan nilai-nilai spiritual dan ekologis bangsa Indonesia.
Dari sebatang pohon yang tumbuh sunyi di kaki gunung, kini jampinang tumbuh menjadi simbol zaman baru. Ia mengingatkan kita bahwa peradaban yang besar tak bisa tumbuh tanpa akar yang kuat—akar yang menghunjam pada tradisi, menyatu dengan nilai-nilai luhur, dan tumbuh ke masa depan dengan kesadaran ekologis yang tinggi.
Editor : Rizal Fadillah