BANDUNG BARAT,iNews BandungRaya.id - Kasus kekerasan ke perempuan dan anak, serta Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kabupaten Bandung Barat (KBB) tinggi.
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) KBB, Rini Haryani mengatakan jumlah kasus yang tercatat di pihaknya sepanjang Januari-Agustus 2025 ada 62 kasus.
"Di tahun ini kami sudah menerima 62 kasus dengan jumlah korban lebih dari itu, karena satu kasus korbannya bisa beberapa," ucapnya saat ditemui di Ngamprah, Kamis (21/8/2025).
Rini merinci jumlah itu terdiri dari kasus kekerasan terhadap anak ada 34, kekerasan terhadap perempuan sebanyak 12, kemuduan KDRT 16 kasus, sementara kasus trafficking belum ada laporan.
Berdasarkan data dari 1,8 juta jiwa penduduk KBB terdiri dari 49% laki laki dan 51% perempuan. Untuk kasus kekerasan perempuan dan anak tahun 2021 ada 17 kasus, kemudian di tahun 2022 pelaporan langsung naik jadi 217% atau jadi 54 kasus.
Kemudian di tahun 2023 ada 64 kasus yang dilaporkan, di antaranya KDRT 25%, kekerasan pada perempuan 17%, dan kasus-kasus lainnya. Sementara di tahun 2024 pelaporan yang masuk mencapai 65 kasus. Rinciannya ada tambahan kasus TPPO 5% yang didominasi anak-anak.
Kasus yang paling mendominasi adalah kekerasan pada anak. Seperti ada kasus anak yang dirudapaksa oleh ayah tirinya hingga hamil, namun ironisnya oleh sang ibu malah diusir. Sementara untuk KDRT kebanyakan kasusnya muncul karena faktor ekonomi.
Adapun untuk kasus KDRT di KBB sebagain besar tidak berlanjut ke laporan pidana di polisi. Kasusnya hanya sebatas dilaporkan ke DP2KBP3A lalu diberi penanganan dan pendampingan.
"Biasanya banyak pertimbangan dari wanita atau korban KDRT, misalnya masih ingin menyelamatkan perkawinan demi anak-anaknya, atau karena masih ketergantungan ke suami," tuturnya.
Selain itu, lanjut Rini, pertimbangan lainnya perempuan korban KDRT juga memiliki kekhawatiran jika nanti setelah proses hukuman selesai suami dan keluarganya balas dendam. Sebab hukuman pelaku KDRT biasanya kurang dari 10 tahun.
Pihaknya menggulirkan Program Peka (Perempuan Kepala Keluarga) agar perempuan di KBB bisa berdaya dan produktif. Sehingga ketika suami melakukan tindakan di luar batas kewajaran mereka bisa hidup mandiri meski lepas dari suami.
"Tapi manakala suami ada dan bisa melaksanakan fungsi sebagai kepala keluarganya, perempuan produktif bisa jadi ikut membantu ekonomi keluarga," tuturnya. (*)
Editor : Rizki Maulana
Artikel Terkait