BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Potensi hilangnya uang negara dalam kasus dugaan korupsi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) kembali menjadi sorotan. Indonesian Audit Watch (IAW) meminta Presiden Prabowo Subianto meninjau ulang Keputusan Presiden (Keppres) tentang rehabilitasi sejumlah direksi yang terseret perkara tersebut.
IAW menilai keputusan itu dapat menghapus tanggung jawab pidana sebelum kerugian negara dikembalikan, sehingga risiko akhirnya dapat terbebankan pada APBN.
Rehabilitasi Dinilai Membuang Kewajiban Ganti Rugi
Menurut IAW, penerbitan Keppres berpotensi menghilangkan kewajiban pembayaran kerugian yang melekat pada pelaku. Jika status pidana terhapus sementara uang negara belum dikembalikan, maka negara dapat menjadi penanggung kerugian terakhir.
Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, menyebut proses rehabilitasi ini tidak lazim karena berjalan sangat cepat untuk ukuran kasus korporasi BUMN.
“Lima hari setelah majelis hakim menjatuhkan vonis tipikor, status terpidana hilang melalui Keppres. Yang hilang bukan hanya status, tetapi potensi tagihan pengembalian kerugian negara Rp1,253 triliun,” ujarnya, Minggu (30/11/2025).
Awal Kasus: Penawaran Kapal Tua hingga Perubahan Kebijakan
IAW memaparkan konstruksi kasus sejak penawaran 53 kapal tua oleh PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada 2014. Kapal buatan 1959–1966 itu masuk kategori non-performing vessels dan ASDP menolak karena dinilai melanggar prinsip kehati-hatian sesuai UU BUMN.
Namun, setelah terjadi pergantian manajemen pada 2017–2018, proses pembahasan akuisisi kembali dibuka. Sejumlah pertemuan informal digelar di Hotel Shangri-La, kantor PT JN, hingga rumah pribadi Adjie, sosok yang dianggap berperan layaknya shadow director meski bukan pejabat struktural.
Ihwal pengambilan keputusan juga dinilai janggal. Pada 19 Februari 2018 ASDP menerbitkan KD 35/2018 untuk memperketat SOP. Tetapi setahun kemudian muncul KD 86/2019 yang justru menghapus syarat penting seperti feasibility study, evaluasi keuangan, hingga persetujuan komisaris. IAW menyebutnya sebagai policy engineering.
Kontrak, Valuasi, dan Aliran Dana
Kontrak kerja sama usaha (KSU) ditandatangani 23 Agustus 2019 meski belum disetujui komisaris. Lalu pada 2021, valuasi kapal melonjak menjadi Rp2,092 triliun setelah pertemuan informal, meski laporan teknis BKI menyatakan sebagian besar kapal tidak layak.
Skema ini dinilai menyerupai pola fraud di kasus Jiwasraya, Asabri, Garuda, dan Krakatau Steel.
Pada 2022, aliran dana sebesar Rp1,223 triliun tercatat mengalir melalui tiga perusahaan yang terkait dengan Adjie dan Andi Mashuri—mekanisme yang disebut sangat mirip pola layering TPPU.
Putusan Pengadilan hingga Keppres Rehabilitasi
Majelis hakim Tipikor menyatakan para pelaku bersalah. Namun, hanya lima hari setelah putusan, Keppres rehabilitasi diteken. IAW menyebut mekanisme rehabilitasi berjalan tanpa:
audit ulang kerugian negara,
due diligence terhadap aset,
verifikasi ultimate beneficial owner (UBO),
penelusuran aliran dana,
evaluasi rekayasa valuasi.
Menurut IAW, kondisi ini membuat dasar penagihan ganti rugi hilang karena UU Tipikor mensyaratkan status terpidana untuk eksekusi denda.
Risiko APBN Menjadi Penanggung Kerugian
Dengan hilangnya kewajiban pidana, kerugian Rp1,253 triliun terancam ditanggung APBN apabila ASDP tidak mampu menyelesaikan tanggung jawab keuangan.
“Jika ASDP gagal menutup kerugian, negara akan menjadi penanggung risiko terakhir. Itu berarti uang rakyat dipakai menutup kerugian korupsi,” tegas Iskandar.
IAW Ajukan Lima Langkah Korektif untuk Presiden
Agar APBN tidak menjadi korban, IAW mengusulkan lima langkah kepada Presiden:
Review Keppres rehabilitasi sesuai kewenangan administratif.
Terbitkan Perpres rehabilitasi bersyarat agar selaras dengan UU Tipikor dan UU Keuangan Negara.
Audit forensik ulang bersama BPK, BPKP, dan PPATK.
Bentuk Satgas Pemulihan Kerugian Negara dengan kewenangan menyita kapal, perusahaan afiliasi, dan aset pribadi UBO.
Tegaskan bahwa rehabilitasi tidak menghapus kewajiban ganti rugi.
IAW menilai kasus ASDP kini menjadi penentu arah pemberantasan korupsi BUMN ke depan: apakah rehabilitasi akan menjadi celah atau justru instrumen keadilan.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait
