BANDUNG, INEWS.ID - Sikap Ketua Majelis Hakim PN Tipikor Banjarmasin, Yusriansyah yang bersikeras meminta Mardani H Maming dihadirkan langsung di muka persidangan dianggap terlalu berlebihan.
Penilaian tersebut disampaikan pakar hukum salah satu universitas di Banjarmasin, Abdul Halim menyikapi persidangan perkara dugaan korupsi peralihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tambang di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Menurut Abdul Halim, kesaksian mantan Bupati Tanah Bumbu Mardani H Maming secara virtual dalam persidangan yang digelar Senin, 18 April 2022 itu sah dan tak perlu diperdebatkan.
Diketahui, pada sidang perkara dengan terdakwa mantan Kepala Dinas ESDM Kabupaten Tanah Bumbu, Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo itu, hakim menjadwalkan pemeriksan tiga saksi.
Salah satunya, yakni Mardani H Maming yang juga menjabat Ketua Umum Hipmi sekaligus Bendahara Umum PBNU. Mardani hadir secara virtual atau online karena tengah berada di Singapura.
Namun, Ketua Majelis Hakim menandatangani pemanggilan paksa agar Mardani H Maming dihadirkan di persidangan berikutnya secara offline yang dijadwalkan Senin 25 April 2022 mendatang.
"Sikap Ketua Majelis Hakim terlalu berlebihan dan mengabaikan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya murah," tegas Abdul Halim dalam keterangannya, Kamis (21/4/2022).
Abdul Halim menilai, Majelis Hakim PN Tipikor Banjarmasin berlebihan karena Mardani H Maming sudah bersedia memberikan kesaksian secara virtual pada 18 April 2022 lalu. Bahkan, hal itu pun sebelumnya sudah disepakati majelis hakim pada sidang tanggal 11 April 2022.
"Artinya, saksi bisa saja memberikan keterangan melalui virtual atau online karena alasan yang dibenarkan," tegasnya.
Terlebih, lanjut Abdul Halim, kesaksian melalui virtual seorang saksi di bawah sumpah dan sama nilainya dengan kesaksian di bawah sumpah di persidangan. Sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 162 ayat 1, jelas dia, saksi yang tidak hadir dalam sidang dengan alasan yang sah, boleh kesaksiannya dibacakan.
"Boleh dibacakan dan nilai kesaksiannya sama dengan memberikan keterangannya di muka persidangan di bawah sumpah," tegasnya lagi.
Tidak hanya itu, tambah Abdul Halim, berdasarkan Surat Edaran (SE) Mahkamah Agung (MA), pemeriksaan saksi dan tersangka bisa dilakukan secara daring. Terlebih, jika ada alasan yang dibenarkan, misalnya karena kondisi kesehatan atau karena tugas negara dan saksi sudah memberikan atau menyampaikan pemberitahuan kepada hakim.
"Pemeriksaan saksi secara daring atau virtual sah-sah saja," tandasnya.
Terpisah, pakar komunikasi, Adi Sulhardi pun ikut angkat bicara dan menyoroti masifnya pemberitaan tentang Mardani H Maming. Menurut dia, pemberitaan yang ada saat ini terkesan mengabaikan esensi kerja jurnalistik yang seharusnya fokus pada substansi dan tidak menghakimi siapapun.
"Berita-berita itu malah aneh dan konyol. Sebab media lebih fokus pada saksi, bukan pada tersangka. Publik tidak mendapatkan informasi memadai tentang siapa tersangka dan kasus apa yang disangkakan," terang Adi.
Peneliti sekaligus pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta itu menambahkan, tugas semua media adalah memberikan pencerahan kepada publik. Dalam kasus ini, pencerahan itu dicapai melalui pemberitaan yang seimbang dan jauh dari kesan tendensius.
"Sebagai akademisi, saya melihat pemberitaan terkait Mardani H Maming ini sangat menarik. Ini yang disebut trial by the press. Sebab jurnalis tidak lagi fokus pada impartialitas atau keberimbangan. Juga mengabaikan asas praduga tak bersalah. Beliau dilihat sebagai tersangka, padahal statusnya kan masih saksi," papar Adi, Kamis (21/4/2022).
Adi tidak menampik kalau proporsi pemberitaan yang fokus pada Mardani H Maming disebabkan oleh kuatnya ketokohan dan nama besar yang disandang. Namun, dia mengingatkan bahwa kasus ini harus dilihat secara proporsional.
"Public has the right to know. Publik berhak tahu ini kasus apa, serta bagaimana arsitektur permasalahan dalam kasus ini. Harusnya media melakukan kerja-kerja investigasi. Tidak fokus pada saksi dan tersangka, tapi siapa saja pihak yang mengail untung di tengah kegaduhan ini,” katanya.
Adi pun mendorong agar media fokus pada kerja-kerja investigatif. Sebab, kasus ini tidak mungkin berdiri sendiri. Ada pihak lain atau Mr X yang menjadi master mind. Tugas media adalah mengingkat segala hal menjadi seterang-terangnya.
Nama Mardani H Maming mencuat saat diminta hadir sebagai saksi kasus dugaan suap izin tambang yang menjerat mantan Kepala Dinas ESDM Kabupaten Tanah Bumbu, Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo.
Kuasa Hukum Mardani H Maming, Irfan Idham secara tegas menolak semua asumsi dan tuduhan kliennya terlibat dalam kasus itu. Menurutnya, kliennya tidak mengetahui apalagi menerima aliran dari dugaan gratifikasi Dwiyono.
Pokok perkara kasus dugaan suap izin tambang yang menjerat Dwidjono, yakni gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Hal itu berasal dari laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Menurut kami ini murni perbuatan Pak Dwi (eks kepala Dinas ESDM). Jadi kami tidak setuju juga kalau misalnya atas kasus tersebut ada pemberitaan-pemberitaan yang beredar bahwa ini ada kaitannya dengan klien kami,” tutur Irfan yang tercatat sebagai pengacara di Titah Law Firm, Jakarta.
Pada perkara dugaan korupsi peralihan IUP tambang di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan itu, terdakwa Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo didakwa Pasal 11, Pasal 12 huruf (a), Pasal 12 huruf (b) UU Tipikor dan Pasal 4 UU TPPU. (*)
Editor : Ude D Gunadi
Artikel Terkait