BANDUNG, INEWSBANDUNGRAYA.ID - Kasus penyerobotan lahan PTPN VIII di Kebun Cisaruni yang meliputi Desa Margamulya dan Desa Cikandang, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut terus bergulir. Bahkan, pada Senin pekan depan sudah memasuki persidangan keempat.
Walapun para tersangka yaitu NN (48), SP (60), UJ (45), dan FK (44) menyatakan bahwa lahan yang mereka garap merupakan lahan ex HGU dan lahan terlantar, namun Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (SP BUN) menampik pernyataan tersebut.
Ketua Umum SP BUN (Serikat Pekerja Perkebunan) PTPN VIII, Adi Sukmawadi mengatakan, bahwa tanaman teh yang dibabat keempat tersangka merupakan tanaman produktif.
Menurutnya, lahan yang diserobot juga merupakan lahan produktif yang saat ini pengelolaan Hak Guna Usaha (HGU) masih berada di bawah PTPN VIII. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan tanaman teh produktif yang baru saja di gergaji oleh para tersangka, saat akan dipanen oleh para pemetik teh beberapa waktu lalu.
"Blok yang dirusak merupakan lahan produktif yang selalu dilakukan pemeliharaan, dan dilakukan panen oleh kawan-kawan pemetik teh di perkebunan Cisaruni," terang Adi saat ditemui di Bandung pada Jumat (6/1/2023).
Masih menurut Adi, penyerobotan lahan sudah terjadi sejak tahun 2019, dengan area lahan yang dibabat selalu berpindah pindah dan terakhir pembabatan lahan teradi pada bulan Agustus 2022 silam. Sehingga, jika diakumulasikan lahan yang diserobot sudah mencapai 96 hektar, dengan kerugian yang dialami PTPN VIII mencapai 127 milyar rupiah.
"Jadi pola penebangan selalu berpindah-pindah. Yang kemarin kita laporkan merupakan lahan kebun PTPN VIII yang HGU nya masih aktif, masih berlaku. Kemarin total kerugian kurang lebih 127 milyar karena memang kita akumulasi, karena usia produktif tanaman teh bisa mencapai 50 tahun bahkan lebih" katanya.
Adi mengaku, sudah 3 kali menempuh jalur mediasi dengan para penyerobot lahan PTPN VIII, namun selalu menemui kebuntuan. Bahkan, sudah juga ditawarkan bekerjasama dengan pola PMDK (Pemberdayaan Masyarakat Desa Kebun) dengan perjanjian resmi dng PTPN VIII tapi ditolak.
Malah para tersangka menyatakan berhak atas penguasaan lahan tersebut dengan dalih reforma agraria. Para tersangka hendak mengubah lahan PTPN VIII yang sejatinya diperuntukan untuk tanaman teh dan kayu keras, menjadi lahan perkebunan sayuran seperti wortel dan kentang dan lain-lain.
Adi pun mensinyalir adanya pemodal besar yang mendukung aksi penyerobotan lahan tersebut. Karena sejumlah tersangka mengaku hanya suruhan yang dibayar oleh pihak-pihak tertentu.
Di tempat yang sama, Ketua Forum Penyelamat Lingkungan Hidup (FPLH) Jabar, Thio Setiowekti menanggapi langkah Serikat Petani yang melakukan aksi ke DPRD Garut untuk membebaskan terdakwa penyerobot lahan kebun cisaruni PTPN VIII menyatakan kekhawatiran akan terjadi konflik horisontal di lapangan.
"Masyarakat Cikajang di kebun Cisaruni itu bukan hanya petani penyerobot lahan, tapi juga ribuan karyawan dan pemetik teh yang selama ini menggantungkan hidupnya dari kebun Cisaruni. Dikhawatirkan akan terjadi konflik horisontal sesama saudara," tuturnya.
Menurut Thio, hutan dan kebun merupakan green barrier untuk penyelamatan lingkungan karena pohon teh juga menyerap air.
"Kalau pohon teh di perkebunan dibabat dan ditanami sayuran dengan alasan urusan perut dan dalih reforma agraria, dapat dipastikan menyebabkan banjir dan longsor," jelasnya.
"Sebaiknya DPRD Garut tidak hanya membela petani illegal tapi memfasilitasi semua pihak termasuk para karyawan dan pemetik teh yang legal di kebun cisaruni sehingga ada titik temu. Disamping itu proses hukum harus tetap berjalan karena negara kita adalah negara hukum," tandasnya.
Editor : Rizal Fadillah