Tegas! Muhammadiyah Tak Izinkan Kampusnya Digunakan untuk Kampanye Politik

JAKARTA, iNews.id - Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, menyatakan bahwa pihaknya tidak akan memberikan izin untuk menggunakan lembaga pendidikannya dalam kegiatan kampanye politik.
Dia menilai bahwa kampanye semacam itu akan berdampak negatif terhadap dinamika politik dan kegiatan akademik di kampus.
Hal ini menjadi tanggapan terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan kampanye politik dilakukan di fasilitas pemerintah dan lembaga pendidikan.
Meskipun keputusan ini telah dikeluarkan, lembaga pendidikan Muhammadiyah akan tetap berhati-hati dan mungkin tidak akan memberikan izin untuk kampanye di kampus.
Abdul menyatakan pada Selasa (29/8/2023), "Walaupun diizinkan, lembaga pendidikan Muhammadiyah akan sangat berhati-hati. Bahkan mungkin tidak memberikan izin kampanye di kampus." Dengan demikian, dia bertujuan agar lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan Muhammadiyah tidak terlibat dalam tarikan kepentingan politik.
"Dengan memperbolehkan kampanye di kampus, keputusan MK ini dapat memiliki dampak negatif terhadap dinamika politik dan kegiatan akademik di kampus. Persaingan kepentingan politik di lingkungan kampus dapat menjadi lebih kuat," tambahnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima gugatan terkait larangan kampanye politik di tempat ibadah dan fasilitas pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Gugatan ini dengan nomor perkara 65/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Handrey Mantiri dan Ong Yenni.
Handrey Mantiri, sebagai Pemohon I, adalah seorang warga negara yang juga merupakan pemilih. Sementara itu, Ong Yenni, Pemohon II, adalah seorang warga negara yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari PDIP.
Kedua pemohon ini mengajukan gugatan terkait larangan kampanye politik di tempat ibadah dan fasilitas pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Gugatan tersebut mengarah kepada Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu yang menyatakan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Namun dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa membawa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak yang bertanggung jawab atas fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Ketua MK, Anwar Usman, menyatakan pada Selasa (15/8/2023) saat memimpin sidang putusan di Gedung MA, Jakarta Pusat, bahwa keputusan MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon, dengan alasan yang sesuai dengan hukum.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta