BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Perhimpunan Kelompok Pelestari Hutan (Poklan) menggelar seminar bertajuk 'Mengungkap Fakta Pengelolaan Sampah di TPS Sarimukti, Potret Kebijakan Pengelolaan Sampah Nasional' yang berlangsung di Hafa Warehouse, Jalan Gudang Selatan No.88, Kota Bandung, Rabu (21/2/2024).
Seminar ini digelar dalam rangka memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2024 yang jatuh pada 21 Februari. Seminar ini dihadiri oleh sekitar 100 peserta, yang terdiri dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Wilayah Bandung Raya.
Selain para pejabat di pemerintahan, seminar ini juga dihadiri para mahasiswa dari berbagai universita di Kota Bandung. Seperti mahasiswa Fakultas Hukum dan Pusat Unggulan Lingkungan dan Ilmu Keberlanjutan (PULIK) Universitas Padjajaran (UNPAD), mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB), mahasiswa Fakultas Teknik Lingkungan (FTL) Institut Teknologi Nasional Bandung (ITENAS), dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH).
Hadir sebagai pembicara Dr. Ir. Anang Sudarna, MSc., PhD sebagai Mantan Kepala BPLHD Jabar, Prof. Dr. Ir. Etty Riani, MS yakni seorang Pakar Ekotoksikologi dari IPB, dan Muhammad Yusuf Firdaus, S.T., Dipl.SE,IPM.
Dalam paparannya, Anang Sudarna menjelaskan, jika persoalan sampah merupakan tanggung jawab bersama. Mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, hingga Pemerintah Kabupaten/Kota.
"Walaupun secara regulasi ya, berdasarkan Undang-undang 18 2008 itu kan tanggung jawab pengelolaan sampah itu ada di bupati dan wali kota, kecuali pada wilayah yang pengelolaannya itu regional alias 2 atau lebih Kabupaten/Kota itu tanggung jawab provinsi seperti Sarimukti," kata Anang.
Berkaca dari sejarah longsornya gunungan sampah di TPA Leuwigajah, Cimahi pada 21 Februari 2005, pihaknya berharap pemerintah terus melakukan edukasi, memfasilitasi serta berkolaborasi dengan masyarakat sehingga sampah itu habis dikelola dari sumbernya.
"Ya kalaupun ada sisa ya residunya saja yang pergi dan dikelola di TPA. Residunya saja mungkin tidak lebih dari 30% ya, yang organik bisa kita bisa bikin kompos, bisa bikin magot bisa bikin berbagai jenis pupuk, bisa menciptakan lapangan pekerjaan itu," ungkapnya.
Untuk mencapai hal itu, kata Anang, pemerintah perlu melakukan bimbingan teknis atau pun penyuluhan yang dilakukan secara berkala hingga pada akhirnya masyarakat terampil dan bisa atau mau mengerjakan hal tersebut.
Sementara terkait fasilitas dalam bentuk regulasi, Anang mengungkapkan, perlu adanya fasilitas pengolahan sampah untuk organik dalam setiap RW.
"Lahannya ada di fasum sebuah perumahan, ya fasilitasilah infrastruktur pengolahannya dari anggaran pemerintah daerah atau bisa saja menggunakan dana CSR, pemerintah kan punya otoritas mengatur itu," katanya.
"Perusahaan punya kewajiban mengeluarkan CSR itu, bukan membebani perusahaan loh itu kewajiban sesuai undang-undang perseroan. Itu sangat besar jumlahnya, terutama dari perusahaan-perusahaan besar seperti bank, kemudian mungkin PLN," tambahnya.
Anang menilai, yang tak kalah penting adalah membangun kolaborasi antar kelompok-kelompok masyarakat melalui penyuluhan melalui bimbingan teknis.
"Sehingga terbentuk kelompok masyarakat yang di sebuah kawasan ya, di sebuah RW gitu ya yang nanti bisa kerja sama," imbuhnya.
Menurut Anang, sejak awal TPA Sarimukti itu tidak dirancang sebagai TPA yang permanen. Namun, TPA Sarimukti adalah TPA sementara pasca tragedi longsor TPA Leuwigajah.
"Dulu saya sempat menangani itu, walaupun cuman satu setengah tahun, terlalu lambat. Kita berharap Pemprov Jabar mempercepat proses konstruksinya TPA Legok Nangka, karena lelangnya sudah. Walaupun saya cukup mengelus dada karena lelangnya sampai 5 tahun itu," bebernya.
Anang menyebut, kemampuan pemerintah kota/kabupaten untuk membayar tipping fee menjadi persoalan saat ini.
"Oleh karena itu saya cenderung pengelolaan sampah dari sumber. Kalau memang ada residu yang harus dibuang di TPA itu sudah berbentuk residu yang berbentuk anorganik. Sehingga kualitas sampahnya memiliki kadar kalor yang lebih tinggi," terangnya.
Sementara itu, Tim Masyarakat Peduli TPA Sarimukti yang juga Ketua Perkumpulan Pengelola Sampah dan Bank Sampah Nusantara (PERBANUSA) Kota Cimahi, Wahyu Dharmawan mengatakan, peringatan HPSN 2024 ini bukan hanya tentang persoalan sampah saja namun masih ada masalah besar lainnya terkait limbah dari sampah itu sendiri.
"Nah ini harus ditangani kenapa kalau tidak yang akan ketiban masalah adalah warga masyarakat," ungkapnya.
Bicara solusi kongkret, kata Wahyu, pihaknya menyarankan untuk melakukan audit investigasi secara menyeluruh, baik untuk program Citarum Harum dan juga penanganan TPA Sarimukti.
"Tapi kita tahu setelah kita cek lebih dari 4 tahun terakhir tidak pernah ada kegiatan pengolahan kompos. Nah apalagi ada kebijakan dari KLHK yang kemudian di tindak lanjuti oleh DLH. Pelarangan sampah organik masuk TPK (Tempat Pengolahan Kompos), padahal izinnya untuk menangani sampah organik, justru yang anorganik dibiarkan masuk, ilegal justru kirim sampah organik, padahal izin legalnya untuk organik," tuturnya.
Menurutnya, jika pada akhirnya TPA Sarimukti ini ditutup, harus ada penanganan terus-menerus selama 20 tahun sejak ditutup sesuai dengan Undang-undang nomor 18 tahun 2008.
"Tantangan lainnya adalah UPTD PSTR selaku pengelola untuk di Bogor dan Legok Nangka harus dilihat bagaimana cara pelayanan publik bukan hanya untuk Sarimukti semata, tapi untuk TPAS yang ada," katanya.
Wahyu menilai, kehadiran Legok Nangka untuk pengelolaan sampah Bandung Raya itu sangat penting. Hanya saja, hal yang telah dicanangkan sejak lama tersebut masih belum saja terealisasi.
"Dengan itu, audit investigasi menjadi sangat penting, baik untuk program Citarum Harum atau juga penggunaan layanan publik di Sarimukti, supaya kita tahu masalahnya dimana. Karena kami khawatir ini terjadi karena tindakan koruptif," tandasnya.
Editor : Rizal Fadillah