get app
inews
Aa Read Next : Selama 6 Bulan, 120 Peserta Kerja ke Jepang Digembleng Pelatihan Bahasa dan Budaya

Sejarah Micin: Andalan para Emak-Emak di Dapur, Penyedap Rasa yang Penuh Kontroversi 

Rabu, 19 Juni 2024 | 15:17 WIB
header img
Ilustrasi micin. Foto: Istimewa

JAKARTA, iNewsBandungRaya.id - Di Indonesia, dari pelosok desa hingga gedung-gedung bertingkat di perkotaan, semua orang mengenal micin.

Ya, micin atau monosodium L-glutamat (MSG) merupakan penyedap rasa yang sudah umum dikenal masyarakat Indonesia dan menjadi andalan para ibu di dapur. Namun, tahukah kamu bagaimana micin ditemukan dan diproduksi?

Sejarah micin

Kikunae Ikeda, seorang ahli kimia Jepang, adalah orang yang menciptakan micin. Suatu ketika, Ikeda yang sedang menikmati semangkuk sup rumput laut bertanya-tanya, apa yang membuat dashi, sebuah kaldu standar dalam masakan Jepang, memiliki rasa yang kaya?

Dashi, dalam makanan Jepang, terbuat dari fermentasi rebusan rumput laut dan ikan kering. Kaldu ini sering digunakan oleh koki untuk menambah cita rasa makanan, terutama rasa gurih pada makanan tanpa daging.

Untuk alasan yang sulit dijelaskan, dashi membuat makanan terasa lebih enak. Hal ini memotivasi Ikeda untuk mencari tahu alasannya. Pada tahun 1908, Ikeda mengisolasi substansi utama dashi, yaitu rumput laut Laminaria japonica. Dia kemudian melakukan serangkaian percobaan, termasuk penguapan, untuk mengisolasi senyawa spesifik dalam rumput laut tersebut.

Setelah berhari-hari melakukan penguapan, rumput laut tersebut akhirnya mengkristal. Saat dicicipi, Ikeda mengenali rasa gurih dari dashi. Ia menyebutnya sebagai rasa umami, dari kata "umai" yang berarti lezat.

Penemuan ini merupakan terobosan yang menantang pandangan tradisional tentang rasa dalam kuliner, yang biasanya hanya mengenal empat rasa: asin, pahit, asam, dan manis.

Setelah menemukan rasa kelima, yaitu gurih, Ikeda menentukan rumus molekul kristal yang dihasilkan, yaitu C5H9NO4. Rumus molekul ini sama dengan asam glutamat, sebuah asam amino non-esensial karena tubuh manusia menghasilkan senyawa ini secara alami.

Asam glutamat

Asam glutamat juga diproduksi dalam tubuh manusia. Di dalam tubuh, asam glutamat sering ditemukan sebagai glutamat, yang merupakan bentuk berbeda jika kehilangan satu atom hidrogennya.

Glutamat adalah salah satu neurotransmitter paling banyak di otak, berperan penting dalam memori dan pembelajaran. Selain di tubuh manusia, senyawa ini juga diproduksi oleh beberapa hewan dan tumbuhan.

Senyawa ini mudah ditemukan dalam berbagai bahan makanan alami, seperti tomat, keju, jamur, buah, sayur, bahkan ASI (air susu ibu) juga mengandung glutamat.

Dengan kata lain, sebenarnya micin atau MSG sudah terkandung secara alami dalam makanan.

Produksi massal

Menyadari keberhasilannya dalam merumuskan molekul kristal umami, Ikeda mulai memikirkan produksi massalnya. Pada tahun 1909, Ikeda mendirikan merk dagang Ajinomoto (dalam bahasa Jepang berarti esensi rasa) untuk memproduksi temuannya.

Pada awalnya, bahan tambahan masakan ini dibuat dengan memfermentasi protein nabati. Sayangnya, micin tidak langsung diterima pasar. Ajinomoto sempat kesulitan menarik perhatian konsumen dan bahkan tidak menghasilkan keuntungan selama empat tahun pertama.

Tahun 1931 menjadi titik balik bagi penyebaran MSG. Pada tahun itu, Ajinomoto menjadi sangat populer di masyarakat, terutama setelah produk ini digunakan secara resmi di meja kaisar.

Melahirkan kontroversi

Ketenaran micin bukan tanpa hambatan. Bahan penyedap rasa ini sering dikaitkan dengan berbagai hal buruk, misalnya membuat bodoh atau sakit. Hal ini mungkin bermula dari tulisan Robert Ho Man Kwok, seorang dokter keturunan China-Amerika di Maryland, AS.

Pada tahun 1968, Kwok menulis sebuah esai ke New England Journal of Medicine tentang sindrom restoran China. Dalam esai tersebut, Kwok menceritakan bagaimana dia mengalami mati rasa di bagian belakang leher yang menyebar hingga ke lengan dan punggung, lemas, dan berdebar-debar setiap kali makan di restoran China.

Ia sempat menduga bahwa penyebabnya adalah kecap dan anggur, tetapi kemudian pilihannya jatuh pada MSG yang digunakan sebagai bumbu pelengkap di restoran China.

Esai tersebut kemudian memicu berbagai penelitian ilmiah mengenai efek micin pada manusia dan hewan.

Apakah tetap aman digunakan?

Pada tahun 1997, diadakan pertemuan konsensus yang membahas apakah micin berbahaya atau tidak. Salah satu yang dibahas adalah tingkat asupan aman micin.

Para peneliti menyatakan bahwa micin dapat diberikan secara terus-menerus pada manusia dalam dosis besar tanpa menimbulkan efek samping. Salah satu contohnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Bazzano pada tahun 1970.

Dalam temuan Bazzano, micin bisa diberikan hingga dosis 147 gram per hari selama 30 hari atau lebih tanpa menimbulkan efek samping. Berbagai penelitian tentang keamanan micin juga terus dilakukan, termasuk pada tahun 2000 yang melibatkan 130 orang yang mengaku reaktif terhadap MSG.

Para peserta diberi larutan MSG atau plasebo (obat kosong). Jika mereka mengalami satu di antara sepuluh gejala yang ada dalam daftar, mereka akan diuji kembali dengan MSG dalam dosis yang sama untuk melihat konsistensi. Selain itu, peserta juga diuji dengan dosis yang lebih tinggi untuk melihat apakah gejala yang dirasakan meningkat.

Setelah diuji kembali, hanya dua dari 130 orang yang menunjukkan reaksi konsisten terhadap MSG dan bukan plasebo. Namun, ketika diuji dengan MSG dalam makanan, reaksi ini menjadi tidak konsisten dan menimbulkan keraguan pada validitas sensitivitas MSG.

Melihat penelitian-penelitian tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) mengategorikan MSG sebagai GRAS (Generally Recognized As Safe) atau umumnya diakui aman. Meski demikian, penelitian lebih lanjut tentang micin terus dilakukan.

Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut