Peluncuran Danantara Picu Polemik, Publik Tuntut Transparansi

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Peluncuran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) pada 24 Februari 2025 memicu berbagai reaksi dari publik.
Kehadiran entitas Sovereign Wealth Fund (SWF) yang digadang menjadi kebanggaan Indonesia justru menimbulkan kekhawatiran, terutama terkait tata kelola dan transparansinya.
Pada hari peluncuran Danantara, IHSG sempat dibuka menguat sebesar 13,582 poin atau 0,20% ke level 6.816,584. Namun, pada penutupan sesi pertama menunjukkan penurunan 55,77 poin atau 0,82% ke level 6.747,2.
Beberapa hari berikutnya, IHSG terus merosot, mencapai level 6.256 pada 28 Februari 2025.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus mengatakan, salah satu faktor utama yang memicu kekhawatiran adalah ketidakjelasan tata kelola Danantara.
“Masyarakat cemas dengan transparansi dan mekanisme pengawasan Danantara. Seharusnya kehadiran entitas ini membawa sentimen positif, namun yang terjadi justru sebaliknya,” ucap Iskandar dalam keterangan resminya, Sabtu (1/3/2025).
Iskandar menjelaskan, Danantara dibentuk berdasarkan tiga regulasi utama yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto:
• UU Nomor 1 Tahun 2025, perubahan ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
• PP Nomor 10 Tahun 2025, yang mengatur organisasi dan tata kelola Danantara.
• Keppres Nomor 30 Tahun 2025, mengenai pengangkatan dewan pengawas dan badan pelaksana Danantara.
Meskipun regulasi tersebut menjadi dasar hukum operasional Danantara sebagai superholding yang mengelola aset BUMN untuk investasi strategis, publik belum dapat mengakses UU Nomor 1 Tahun 2025 melalui situs lembaran negara.
"Mungkin ada yang takut jika Presiden Prabowo Subianto dan publik lantas bisa dengan tegas membaca Pasal 71 dan 71A yang isinya idemdito dengan pengamputasian kewenangan audit tanpa syarat oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)," jelasnya.
Potensi Benturan Kepentingan dalam Struktur Organisasi
Dalam regulasi yang ada, Pasal 27B UU Nomor 1 Tahun 2025 melarang rangkap jabatan bagi Dewan Komisaris (Dekom) BUMN. Hal ini sejalan dengan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik serta PP Nomor 45 Tahun 2005 jo PP 23 Tahun 2022, yang menegaskan bahwa anggota direksi dan komisaris BUMN tidak boleh merangkap jabatan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Namun, struktur Danantara menunjukkan indikasi pelanggaran prinsip tersebut. Dewan Pengawas (Dewas) Danantara, yang berfungsi serupa dengan komisaris, diisi oleh sejumlah pejabat aktif, termasuk Menteri BUMN Erick Thohir sebagai ketua serta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair sebagai anggota.
“Kita melihat anomali di sini. Menteri yang seharusnya menjadi regulator justru juga menjabat sebagai pengawas. Ini rawan benturan kepentingan dan sangat pantas dipertanyakan. Jadi pantas publik bercuriga,” katanya.
Selain Dewas, Danantara juga memiliki Dewan Penasehat (Depen) yang beranggotakan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Iskandar menilai keberadaan Depen masih bisa diterima, meski tetap memerlukan pengawasan ketat.
“Meski Danantara memiliki dasar hukum tersendiri, yang lebih penting adalah memastikan prinsip tata kelola yang baik tetap diterapkan, karena Danantara mengelola aset negara dalam jumlah besar,” ungkapnya.
Menurutnya, rangkap jabatan dapat menimbulkan benturan kepentingan di seluruh lini organisasi. Evaluasi terhadap struktur Danantara diperlukan agar sesuai dengan peraturan dan prinsip tata kelola yang baik.
“Kami menduga ada upaya penyelundupan hukum dalam regulasi yang mungkin tidak sepenuhnya disadari oleh Presiden Prabowo,” ujarnya.
Meskipun struktur organisasi Danantara dirancang untuk memisahkan fungsi operasional dan pengawasan demi menjaga akuntabilitas, faktanya masih mudah diragukan dan dipertanyakan.
“Idealnya, regulasi Danantara direvisi agar cita-cita awal pembentukannya tidak terbajak oleh struktur organisasi saat ini,” ucap pria berdarah Batak kelahiran Palembang tersebut.
Rekomendasi Audit dan Reformasi Tata Kelola
Untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas Danantara, Iskandar merekomendasikan beberapa langkah, antara lain:
1. Audit Berbasis Risiko: Mengidentifikasi dan memeriksa area dengan risiko tinggi terhadap penyalahgunaan atau inefisiensi dalam investasi dan pengambilan keputusan.
2. Audit Forensik: Melibatkan auditor independen guna mendeteksi indikasi fraud, penyimpangan anggaran, dan pengaruh politik dalam alokasi investasi.
3. Audit Kinerja: Lembaga independen seperti akademisi atau LSM dapat menilai efektivitas penggunaan dana negara.
4. Transparansi Laporan Keuangan: INA dan Danantara wajib menerbitkan laporan keuangan tahunan secara terbuka sesuai standar IFRS atau PSAK.
5. Revisi Regulasi Pengawasan BPK: Diperlukan ketegasan dalam UU Keuangan Negara agar SWF seperti Danantara tetap berada dalam lingkup audit reguler BPK.
6. Mekanisme Whistleblower: Perlindungan bagi pelapor kejanggalan dalam Danantara harus diperkuat untuk meningkatkan transparansi.
7. Studi Perbandingan: Mengadopsi sistem audit dan transparansi dari SWF negara lain seperti Norwegia, Singapura, dan Uni Emirat Arab.
“Kita perlu memastikan bahwa Danantara tidak menjadi entitas tertutup dan kebal pengawasan. Jika regulasi ini tidak direvisi, maka Danantara bisa menjadi preseden buruk bagi pengelolaan aset negara ke depan,” tandasnya.
Editor : Rizal Fadillah