get app
inews
Aa Text
Read Next : Novel “Cinta, Kopi, dan Kekuasaan: Kesaksian Nyai Apun Gencay” Sajikan Sejarah yang Sinematik

Catatan Bangsawan tentang Sejarah Cianjur, dari Tahayul ke Tanam Paksa

Senin, 07 April 2025 | 15:40 WIB
header img
Saep Lukman, penulis. (FOTO: ISTIMEWA)

Oleh: Saep Lukman

Mukadimah

Ketika seorang bangsawan menulis sejarahnya sendiri, dia tidak hanya mencatat kejadian, tetapi juga menyisipkan cermin batin, luka keluarga, dan harapan atas penerusnya. Naskah Inlandsche Verhalen van den Regent van Tjiandjoer, in 1857, ditulis oleh Bupati Cianjur diduga RAA Kusumaningrat atau dikenal sebagai Dalem Pancaniti. 

Naskah ini menjadi salah satu contoh langka dari memoar lokal yang bersentuhan langsung dengan pusat kekuasaan kolonial, adat Sunda, Islamisasi bangsawan, hingga konflik internal dalam dinasti Priangan.

Lebih dari sekadar catatan keluarga, naskah ini merupakan refleksi kelas elite bumiputera di tengah sistem tanam paksa, struktur kolonial VOC dan Hindia Belanda, serta tarik-menarik antara ketaatan budaya dan tekanan modernitas yang semakin mendekat. 

Di tengahnya, kita menemukan tokoh-tokoh seperti, Adipati Wira Tanu Datar yang digambarkan begitu agung. Raden Aria Wira Negara yang sadis dan ambisius, serta figur mistis seperti jin perempuan dan Badak Putih yang membentuk struktur kekuasaan secara gaib.

Yang menarik, naskah ini ditulis pada tahun-tahun setelah sistem tanam paksa kopi (cultuurstelsel) mengalami pelapukan, tepat ketika Hindia Belanda berusaha menata ulang hubungan pusat-daerah. Dengan kata lain, ini adalah sebuah naskah batas zaman, antara dunia lama yang sarat tahayul, dan dunia baru yang sedang ditata dengan peta, statistik, dan hukum.

Pusat Kekuasaan
Salah satu bagian paling mencolok dari naskah yang kembali di tulis JSTOR sebuah perpustakaan digital berisi jurnal ilmiah, buku akademik, dan sumber primer milik ITHAKA sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat, dan fokus pada pengembangan serta penerapan teknologi digital untuk mendukung dunia pendidikan tinggi dan penelitian ilmiah — adalah pengakuan bahwa cikal bakal kekuasaan di Cianjur berkaitan dengan peristiwa mistis. 

Seperti dimulai dengan kehadiran tokoh Aria Wira Tanoe Datar yang dikisahkan menikahi seorang Jin perempuan saat bertapa di sebuah batu besar. Dari rahim Jin inilah lahir kemudian dua anak yakni Raden Soerja Kentjana dan Njai Indang. 

Bahkan dikisahkan bahwa seorang Jin lain yang lebih tua juga menyarankan agar pusat kekuasaan didirikan di barat daya Cianjur, tepat di tempat di mana terdapat jejak Badak Putih. Atas petunjuk gaib tersebut kemudian lahirlah pusat Dalem atau pendopo kekuasaan di Cianjur.

Selanjutnya pada titik ini, tentu saja kita dihadapkan pada pertanyaan epistemologis berikut, bagaimana seharusnya mitos dibaca dalam konteks sejarah lokal? Apakah ia harus ditolak karena tidak ilmiah? Ataukah justru ia adalah kode sosial dan simbol politik yang menyimpan makna tersirat?

Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960) menulis bahwa dalam masyarakat Jawa (dan Priangan secara luas), kekuasaan tidak hanya sah karena legalitas, tetapi juga karena kesaktian simbolik. Oleh karena itu, kisah kawin dengan jin bukanlah narasi supranatural semata, tapi bentuk pengesahan spiritual atas kedaulatan lokal yang tidak sempat disahkan oleh teks hukum kolonial.

Namun dari sisi nalar kritis, kita juga perlu mengajukan kritik: apakah cerita-cerita ini, bila terus diwariskan tanpa pembacaan baru, tidak justru melanggengkan pola pikir feodal, fatalistik, dan irasional?

Apakah terlalu lama bergantung pada “jejak Badak Putih” tidak membuat kita lupa untuk bertanya siapa sebenarnya yang memungut pajak dari kebun kopi di bawah bayang badak tersebut?

Sekitar periode 1720-an hingga awal abad ke-20, Cianjur dan Priangan adalah bagian dari sistem tanam paksa kopi yang sangat menguntungkan bagi pemerintah kolonial Belanda.

Dalam studi klasik Jan Breman Koelies, Planters en Koloniale Politiek (1987), sistem ini dijelaskan bukan hanya sebagai eksploitasi ekonomi, tapi juga sebagai mekanisme politik, di mana para bupati dan menak lokal menjadi perpanjangan tangan kolonial dalam mengawasi rakyatnya sendiri.

Di dalam naskah 1857, kita menemukan gambaran nyata akan peran brutal seorang bupati: Raden Aria Wira Negara, misalnya, digambarkan mengikat petani dan mandor, menyiksa mereka dengan semut merah, bahkan memaksa mereka duduk di dahan yang dipotong agar jatuh dan patah. 

Ini bukan fiksi. Ini adalah pengakuan keras dari dalam keluarga sendiri, bahwa ada warisan kekuasaan lokal yang dibangun bukan di atas pengabdian, melainkan kekerasan.

Satu generasi setelah sistem tanam paksa mulai merosot, pengakuan ini menjadi penting. Ia menunjukkan bahwa elite bumiputra tidak sepenuhnya korban kolonialisme; seringkali mereka juga komprador yang bersekongkol dengan sistem penindasan untuk mempertahankan status dan privilese.

Menurut saya ada ironi getir dari naskah ini, di mana di satu sisi, memuliakan nenek moyang sebagai tokoh sakti dan pembangun kekuasaan; di sisi lain, ia membeberkan perangai busuk sebagian dari mereka dalam menindas rakyatnya sendiri. Sehingga seperti dalam suasana pasca-tanam paksa, naskah ini memberikan gambaran atau testimoni ganda antara rasa bersalah dan pembelaan.

Sadar Sejarah
Bagian akhir naskah menyuguhkan silsilah panjang dari Prabu Ciung Wanara, Prabu Siliwangi, hingga Adipati Aria Koesoemaningrat. Total 24 generasi disebutkan, membentang dari masa kerajaan Hindu-Buddha, Islamisasi, hingga zaman kolonial.

Pada kerangka ini, sejarah tidak dibaca sebagai linearitas progresif, tetapi sebagai jaringan darah yang terus hidup, melampaui catatan Belanda maupun modernitas Indonesia. Ini adalah sejarah yang berdenyut dalam tubuh, bukan sekadar angka tahun. Warisan seperti ini juga harus ditantang.

Mengapa? Karena bila tidak dibarengi dengan kesadaran kritis, maka silsilah bisa menjadi pembenaran status quo, bisa menjadi alasan untuk terus menganggap diri elite, bahkan setelah rakyat yang dahulu diperas kini hidup dalam kemiskinan struktural.

Studi kritis seperti yang dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 (1966) menunjukkan bahwa akar perlawanan rakyat bukan hanya pada penindasan kolonial, tetapi juga pada kebuntuan budaya feodal yang tidak membuka ruang gerak baru. 

Dengan demikian, pembacaan ulang terhadap silsilah Bupati Cianjur harus disertai semangat pembaruan: bahwa darah tidak selalu menjadi pembenar, bahwa etika dan kerja nyata hari ini lebih penting dari siapa nama leluhur kita.

Tidak semua hal yang kita warisi dari masa lalu harus ditolak. Namun, tidak semua juga harus diterima sebagai kebenaran mutlak. Kisah Djin, Badak Putih, hingga kutukan agar tidak menikah dengan orang Tjikembar, perlu dibaca sebagai arsip simbolik, bukan sebagai hukum tak tertulis yang membelenggu nalar.

Dalam Polarising Javanese Society (2007), M.C. Ricklefs, menyebutkan, proses Islamisasi dan modernisasi di Jawa abad ke-19 justru menimbulkan ketegangan antara yang sakral dan yang rasional. Inilah momen di mana elite lokal diuji: apakah mereka mampu mengkonversi mitos menjadi moral, atau justru terjebak dalam tahayul yang membuat mereka kehilangan relevansi?

Kita harus menantang tahayul, bukan untuk menihilkan makna simboliknya, tapi agar ia tidak menjadi penghalang bagi etika baru: bahwa pemimpin harus lahir dari kualitas, bukan dari jejak gaib. 

Bahwa pusat kekuasaan tidak boleh lagi diletakkan pada “pengoepakan badak”, tetapi pada partisipasi rakyat dan transparansi kekuasaan. Sehingga dengan menyatukan naskah 1857, data kolonial, dan bacaan ilmiah modern, kita bisa menyusun ulang sejarah lokal Cianjur sebagai narasi yang berlapis dan terbuka. 

Sebuah sejarah yang tidak hanya memuliakan elite, tapi juga menyuarakan rakyat. Sejarah yang tidak hanya mencatat pertapaan, tapi juga derita para kuli kopi. Sejarah yang tidak hanya mencatat perkawinan dengan jin, tapi juga perkawinan antara kesadaran lokal dan semangat zaman. 

Yakni sejarah yang bisa mengajarkan para pemimpin masa kini, tentang kekuasaan yang adil dan amanah serta mensejahterakan,  yang bertahan dalam penghormatan karena ditopang oleh kejujuran dan kepedulian yang dapat diwariskan.

Penutup
Naskah ini telah berbicara. Bukan sebagai dongeng, tapi sebagai cermin: kita melihat wajah nenek moyang, kekuasaan yang membusuk, cinta yang dibungkam, rakyat yang terluka, dan djin yang terus bergentayangan dalam pikiran kita.

Kini giliran kita untuk menjawab: warisan seperti apa yang akan kita tinggalkan? Apakah kita akan menjadi generasi yang tetap menyimpan Tjondre di balik pinggang, atau yang mulai menulis ulang sejarah dengan pena dan nurani?

Jawabannya, seperti yang dikatakan penulis naskah itu sendiri lebih dari 150 tahun lalu:
“Siapa pun yang menemukan kesalahan dalam kisah ini, harap membetulkan dan memaafkan saya.”

*) Saep Lukman, anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Cianjur

Editor : Agus Warsudi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut