Minim Peran Advokat dan Transparansi, RUU KUHAP Dikritik dalam Diskusi Publik di Bandung

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang tengah digodok DPR RI menjadi sorotan serius dalam Diskusi Publik yang digelar di Gedung Indonesia Menggugat, Rabu (9/4/2025).
Kegiatan ini diselenggarakan oleh DPC Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Bandung bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH UNPAR).
Diskusi publik ini merupakan bentuk komitmen terhadap hak dan kewajiban meaningful participation masyarakat dalam proses legislasi, sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Para ahli hukum dan praktisi hadir memberikan masukan terhadap draf RUU yang dinilai masih menyimpan banyak persoalan mendasar.
Andrea H. Poeloengan, SH., M.Hum., MTPC, Tenaga Profesional Bidang Hukum dan HAM Lemhannas RI, secara khusus menyoroti lemahnya posisi advokat dalam draf RUU KUHAP. Bahkan, dalam draf terakhir yang ia terima, kata “advokat” hanya disebut sebanyak tiga kali.
“Hal ini sangat disayangkan. Padahal advokat adalah jembatan antar subsistem peradilan pidana. Mereka hadir sejak penyidikan, penuntutan, persidangan, eksekusi, bahkan pasca-penahanan,” tegas Andrea.
Tanpa peran yang jelas, menurutnya akan sulit memastikan perlindungan HAM dalam proses peradilan.
“Kalau hanya disebut 'orang lain', lalu siapa mereka? Apakah bisa dipertanggungjawabkan? Advokat adalah profesi mulia (officium nobile), dan harus diperkuat, bukan dikesampingkan,” tambahnya.
Andrea juga menyatakan bahwa transparansi penyusunan RUU KUHAP sangat minim. Ia mengaku menerima tiga versi draf berbeda dalam waktu singkat tanpa kejelasan versi mana yang sebenarnya digunakan pemerintah.
“Serius enggak sih ini mau merubah KUHAP? Atau hanya agenda politik yang ditunggangi kepentingan-kepentingan tertentu?” kritiknya.
Sebagai mantan Komisioner Kompolnas 2016–2020, Andrea juga menyoroti relasi antara polisi dan jaksa. Menurutnya, jaksa perlu dilibatkan sejak awal dalam proses penyelidikan agar koordinasi lebih efektif. Namun di sisi lain, polisi juga tetap harus bertanggung jawab di tahap penuntutan dan pengadilan.
“Jangan sampai setelah P21, polisi merasa tugasnya selesai. Mereka tetap harus hadir sebagai saksi, sebagai bagian dari tanggung jawab proses keadilan,” ujarnya.
Andrea mengapresiasi langkah konkret yang dilakukan FH UNPAR dan DPC AAI Bandung dalam menyelenggarakan forum diskusi yang terbuka dan inklusif. Meski dengan keterbatasan, menurutnya forum ini digelar di tempat bersejarah dan menunjukkan semangat akademik yang tinggi.
“Targetnya adalah menyusun rekomendasi yang akan dikirim tidak hanya ke Komisi III DPR RI, tetapi juga ke tim pemerintah. Saya dengar targetnya dalam satu hingga dua minggu ke depan,” jelasnya.
Dekan Fakultas Hukum UNPAR, Budi Prastowo, yang juga Ketua Tim Pengkaji RUU HAP, menegaskan pentingnya menghadirkan keseimbangan antara sistem diferensiasi fungsional dan dominus litis.
“Kita ambil keunggulan dari kedua sistem untuk mengurangi konflik antar institusi penegak hukum,” ujar Budi.
Ia juga mengusulkan sejumlah poin konkret untuk perbaikan dalam RUU KUHAP, di antaranya:
Agustinus Pohan, ahli hukum pidana FH UNPAR, turut menyampaikan pandangan bahwa konsep restoratif justice harus menyentuh semua pihak, tidak hanya korban, tetapi juga pelaku dan masyarakat.
“Pendekatan ini hanya akan berhasil bila dijalankan secara komprehensif dan tidak setengah-setengah,” ujarnya.
Editor : Agung Bakti Sarasa