get app
inews
Aa Text
Read Next : Sejarah Hari Bumi yang Diperingati Setiap 22 April

Disutradarai Rachman Sabur, Monolog Kesaksian Nyai Apun Gencay Guncang Sejarah Cianjur

Sabtu, 26 April 2025 | 10:11 WIB
header img
Wina Rezky Agustina tampil memukau, membawakan monolog "Kesaksian Nyai Apun Gencay". (FOTO: ISTIMEWA)

CIANJUR, iNewsBandungRaya.id - Suara rintik hujan malam itu terdengar seperti bisikan masa lalu. Panggung terbuka di ALOHA Chill & Dine, Cianjur, perlahan menjadi altar kesaksian. 

Di hadapan ratusan penonton yang larut dalam suasana remang dan rembesan cahaya, seorang perempuan berkebaya merah berdiri sendiri, namun suaranya menggema seolah mewakili ratusan nyai yang hilang dari catatan sejarah.

“Kesaksian Nyai Apun Gencay”, sebuah monolog yang diadaptasi dari novel "Cinta, Kopi, dan Kekuasaan" karya Saep Lukman, bukan sekadar pementasan. 

Ia adalah penggalian ingatan yang menyayat sekaligus menghidupkan, menyuarakan kembali tokoh-tokoh perempuan yang selama ini tercecer dalam lembaran sejarah kolonial.

Wina Rezky Agustina, dosen Universitas Suryakancana (Unsur) Cianjur dan lulusan pascasarjana program studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, memainkan peran Apun Gencay dengan kedalaman rasa yang penuh eksotik dan menghunjam. Tubuhnya bergerak dalam ritme emosi, suaranya bergetar menahan perih, sesekali membuncah dalam keberanian. 

Di balik naskah yang ditulis dengan cermat oleh Wida Waridah dan disutradarai dengan penuh heroik oleh Rachman Sabur, monolog ini menjelma sebagai ritual kesadaran. Bukan hanya seni, tapi perlawanan. Bukan sekadar panggung, tapi altar kesaksian yang mengguncang sejarah Cianjur.

Rachman Sabur adalah sutradara kawakan pendiri Teater Payung Hitam yang sejak 1982 konsisten menggali bahasa tubuh, napas, dan simbol sebagai bahasa teater perlawanan. Lahir di Bandung, 12 September 1957, Rachman dikenal lewat karya-karya eksperimental, seperti "Kaspar dan Merah Bolong Putih Doblong Hitam:, serta kiprahnya di panggung internasional.

Setelah pensiun dari ISBI Bandung, Rachman tetap aktif berkarya. Dalam perayaan 43 tahun "Payung Hitam", dia menulis dan menyutradarai monolog “Wawancara dengan Mulyono”, sebuah satire absurd tentang identitas dan kuasa. 

Kini, Rachman menggarap monolog “Kesaksian Nyai Apun Gencay”, menafsirkan menjadi ruang tubuh dan sejarah perempuan dalam bayang kolonialisme.

Sementara itu, penulis novel Cinta, Kopi, dan Kekuasaan: Kesaksian Nyai Apun Gencay, Saep Lukman, tak dapat menyembunyikan rasa haru dan bangga. “Saya sangat tersentuh,” kata Saep Lukman.

“Lebih dari 144 halaman novel ini berhasil dijelmakan dalam satu tubuh, satu suara, dan satu malam. Terima kasih kepada Babeh Rachman Sabur, Teh Wida Waridah, Wina Rezky Agustina, Rizki Ferry Ramdani dan Maudi Buana Putra serta Dean Angga Pramudja, Anfa Alifani Utami serta seluruh pihak yang terlibat. Ini lebih dari pertunjukan semoga menjadi ruang bagi ekspresi dan diskursus sejarah,” ujarnya.

Program Budaya Cianjur 1834

Monolog Kesaksian Nyai Apun Gencay itu ditutup dengan gegap gempita penampilan Bentang Herang, sebuah pertunjukan tari karya koreografer muda Anfa Alifanny Utami. 

Tarian ini menjadi elegi dan afirmasi, menyapu malam dengan gestur tenang namun penuh daya - mengikat narasi Apun Gencay dalam gerak tari tradisi dan kontemporer yang jernih dan menggetarkan.

Pementasan Monolog Apun Gencay merupakan bagian dari program budaya CIANJUR 1834, yang digagas oleh Yayasan Kebudayaan Lokatmala Indonesia (Lokatmala Foundation). 

Sebuah gerakan yang mereka sebut sebagai upaya “membumikan kembali sejarah lokal” -agar kisah-kisah seperti Apun Gencay tak hanya hidup dalam arsip, tetapi juga dalam benak publik masa kini.

Malam itu, penonton tidak hanya sekadar diajak menyimak pertunjukan berkualitas. Pertunjukan ini juga dengan berani turut menuliskan ulang sejarah. 

Seperti rintik hujan yang jatuh perlahan ke tanah, suara Apun Gencay kembali menyuburkan kesadaran, bahwa sejarah bukan milik para pemenang semata, tetapi juga milik para perempuan yang berani mencintai, mengabdi, dan bertahan.

Apresiasi

Ketua DPRD Kabupaten Cianjur Ir Hj Metty Triantika MT yang hadir malam itu menyampaikan apresiasinya,  bahwa pementasan ini bukan sekadar hiburan. 

“Pementasan monolog Kesaksian Nyai Apun Gencay bukan hanya membangkitkan kembali jejak sejarah Cianjur, tapi juga menyentuh ruang-ruang batin yang lama terabaikan,” kata Ketua DPRD Cianjur.

“Kami di DPRD Kabupaten Cianjur menyambut hangat inisiatif ini sebagai langkah penting dalam merawat ingatan, sekaligus menyuarakan kembali peran perempuan dalam arus besar perubahan sosial dan budaya,” ujar Metty.

Menurut Metty, Apun Gencay adalah lambang keteguhan, cinta, dan keberanian yang melintasi zaman. “Melalui panggung ini, kita diajak merenungi bahwa sejarah tak hanya ditulis oleh mereka yang berkuasa, tetapi juga oleh perempuan yang berani mencintai dan bertahan,” tuturnya.

“Semoga karya ini menjadi cahaya bagi generasi muda, terutama para perempuan, untuk terus melangkah dengan kesadaran akan akar dan martabatnya,” harap politisi perempuan dari Partai Golkar itu.

Apresiasi juga datang dari Bupati Cianjur dr Mohammad Wahyu Ferdian dalam pernyataan tertulis resmi. “Monolog ini bukan sekadar seni—ia adalah ajakan reflektif dan revolusioner. Sebuah panggung kecil yang menyuarakan kebesaran jiwa, keberanian mencintai, dan kekuatan bertahan,” kata Bupati Cianjur.

Kehadiran karya seperti ini, ujar Wahyu,  menegaskan bahwa generasi muda bukan hanya pewaris budaya, tetapi juga pelanjut narasi. Narasi yang tak hanya soal masa lalu, tapi juga keberanian menyuarakan kisah yang tertimbun.

Editor : Agus Warsudi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut