get app
inews
Aa Text
Read Next : Prabowo Kurban 3 Ekor Sapi, Salah Satunya untuk Warga Bandung

IAW: Pembiaran Konflik Rempang Cemari Komitmen Presiden Prabowo

Selasa, 03 Juni 2025 | 18:00 WIB
header img
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus. (Foto:Istimewa)

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Pulau Rempang dan Galang, yang masuk wilayah administrasi Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, telah lama menjadi titik panas konflik agraria. Ketimpangan antara klaim masyarakat adat dan status formal kawasan hutan oleh negara menjadi pemicu utama. 

Himpunan Masyarakat Adat Pulau Rempang Galang (Himad Purelang) telah sejak 2008 memperjuangkan legalisasi atas lahan yang mereka tempati secara turun-temurun, namun upaya itu selalu terganjal birokrasi dan tarik-menarik kewenangan antara kementerian serta kekosongan hukum di lapangan.

Ketika Presiden Prabowo Subianto membentuk Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2025, publik menaruh harapan besar. Strategi ini dinilai sebagai langkah cerdas untuk membenahi konflik agraria dan pelanggaran di kawasan hutan, termasuk hutan konservasi. Namun, hingga kini, Satgas PKH belum menunjukkan aksi nyata di Rempang, terutama terkait alih fungsi ilegal Hutan Taman Buru.

Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menegaskan bahwa masyarakat adat Rempang, melalui Himad Purelang, telah menempuh berbagai jalur legal.

“Mereka mengacu pada Pasal 19 jo. UU No. 5 Tahun 1960 dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999. Sudah lebih dari 480 permohonan pendaftaran tanah mereka sampaikan, dua rekap administrasi tanah juga sudah disusun,” ungkap Iskandar dalam keterangannya, Selasa, (3/6/2025).

Namun, upaya ini ditolak oleh BPN melalui surat No. 3321/25.1-600/XI/2010 dengan alasan keberadaan hutan Taman Buru berdasarkan SK Menhut No. 307/KPTS-II/1986. Penolakan ini dianggap cacat karena tidak disertai validasi menyeluruh dan verifikasi faktual lapangan. Padahal, wilayah yang disengketakan hanya seluas ±16.000 ha dari total ±51.000 ha yang dipetakan BIG.

Surat Kementerian Kehutanan No. 3.238/REN-2/2014 menegaskan status konservasi Rempang, mencakup hutan lindung, hutan bakau, hutan produksi konversi, dan hutan Taman Buru. Namun, fakta di lapangan menunjukkan perubahan fungsi kawasan menjadi area industri tanpa prosedur sah.

“Perubahan fungsi tanpa persetujuan DPR melanggar UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ini bukan hanya cacat hukum, tapi kriminal administratif,” ujar Iskandar.

Menurut IAW, penunjukan Rempang sebagai Kawasan Perdagangan dan Industri melalui peraturan pemerintah tidak dapat menghapus status kawasan hutan tanpa revisi undang-undang. Beberapa kali Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI dengan BPN telah digelar, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan juga menyatakan kewajiban negara dalam memberdayakan masyarakat pesisir berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007. Namun, semua dukungan ini belum menjelma menjadi perlindungan konkret.

“Negara justru membiarkan wilayah sengketa ini menjadi ajang perebutan liar oleh oknum dan korporasi. Ini pengingkaran terhadap prinsip keadilan agraria dan konstitusi,” tegas Iskandar.

Sebagai bentuk itikad baik, Himad Purelang bahkan telah membuat akta-akta tanah melalui PPAT sejak 2013. Hingga kini, jumlahnya mencapai ratusan. Upaya ini adalah langkah masyarakat untuk melegalkan dan menata kepemilikan tanah secara akuntabel.

Di sisi lain, Satgas PKH sebagai pelaksana strategi nasional justru belum menyentuh kasus Rempang secara prioritas. “Hutan Taman Buru itu ekosistem langka dan dilindungi penuh. Tapi di Rempang sudah banyak bangunan, tanaman hutan punah, tidak ada AMDAL, tidak ada izin DPR. Ini pelanggaran berlapis,” ucap Iskandar.

IAW menilai seharusnya Rempang dijadikan test case oleh Satgas PKH, bukan diabaikan. Jika strategi Presiden tidak dijalankan, Perpres hanya menjadi dokumen formal tanpa dampak nyata. “Tanah untuk rakyat, bukan untuk otorita tanpa akuntabilitas,” tegas Iskandar.

Rekomendasi IAW:

1. Evaluasi SK Menteri Kehutanan tahun 1986 oleh Kementerian LHK bersama DPR RI.

2. Validasi lapangan oleh BPN dan peninjauan ulang surat penolakan Himad Purelang.

3. Penyusunan Perpres khusus untuk penyelesaian tanah adat di Kawasan Strategis Nasional.

4. Audit BPK RI terhadap anggaran Tim 13 BPN dan efektivitas Satgas PKH.

5. Pemberdayaan hukum bagi masyarakat adat melalui bantuan hukum dan pendampingan sertifikasi tanah.

6. Penertiban alih fungsi Taman Buru Rempang oleh Satgas PKH serta penegakan hukum terhadap pelanggaran.

“Kasus Himad Purelang adalah potret ketimpangan struktural dalam pengelolaan agraria di Indonesia. Jika negara terus abai, maka kita tidak hanya menelantarkan rakyat, tapi juga merusak legitimasi hukum agraria nasional,” tegas Iskandar Sitorus.

Presiden Prabowo, menurut IAW, masih memiliki peluang strategis untuk menyelesaikan konflik ini dengan mengembalikan fungsi kawasan hutan sesuai aturan dan menegaskan keberpihakan negara terhadap masyarakat adat.

“Satgas PKH harus segera bertindak sesuai mandat. Jika tidak, pembiaran ini akan tercatat sebagai kegagalan struktural terhadap visi keadilan agraria Presiden,” tutup Iskandar. (*)

Editor : Abdul Basir

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut