Laporan Bank Dunia Sebut 68 Persen Warga RI Hidup dalam Kemiskinan, Begini Respons Luhut

BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan perlunya revisi dalam metode penghitungan kemiskinan nasional. Langkah ini mencuat setelah laporan Bank Dunia mengungkap bahwa lebih dari 68 persen warga Indonesia tergolong miskin jika mengacu pada standar global terbaru.
Pernyataan tersebut disampaikan Luhut dalam forum International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 yang digelar di Jakarta pada Kamis (12/6). Ia menyatakan bahwa angka kemiskinan harus dievaluasi agar lebih mencerminkan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia saat ini.
“Ini bukan berarti situasinya memburuk, tapi pendekatan yang digunakan harus lebih akurat. Sudah saatnya kita perbarui,” ujar Luhut kepada media.
DEN saat ini sedang berkoordinasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengkaji ulang angka garis kemiskinan. Luhut menyebut bahwa Presiden Prabowo Subianto akan menjadi pihak yang mengumumkan standar baru, setelah hasil evaluasi disampaikan dan disetujui.
Meskipun belum menetapkan tenggat waktu revisi, Luhut menyatakan optimisme bahwa data yang diperlukan sudah tersedia dan siap diolah.
“Sama halnya seperti program makan bergizi gratis atau food estate, ini tantangan yang bisa kita selesaikan jika datanya tepat,” tambahnya.
Sorotan tajam muncul dari laporan Bank Dunia bertajuk "June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform", yang menggunakan standar baru dalam mengukur kemiskinan global. Dengan mengadopsi data paritas daya beli (PPP) 2021, ambang batas kemiskinan untuk negara berkembang naik dari USD 6,85 menjadi USD 8,30 per hari.
Imbasnya, jumlah penduduk miskin di Indonesia melonjak drastis menjadi 194,58 juta jiwa dari total populasi 285 juta orang pada 2024. Dalam dua bulan terakhir saja, angka itu meningkat hampir 23 juta orang.
Menanggapi perbedaan data tersebut, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa Bank Dunia menggunakan standar internasional yang bersifat umum dan tidak spesifik pada konteks kebutuhan hidup masyarakat Indonesia.
Menurut Amalia, BPS menggunakan pendekatan yang berbasis pengeluaran minimum warga dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Data tersebut dikumpulkan melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan dua kali setiap tahun.
Meski begitu, sejumlah pakar menilai sudah waktunya Indonesia memperbarui cara pengukuran kemiskinan. Media Wahyudi Askar dari Celios, misalnya, menilai pendekatan lama seperti Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Non-Makanan (GKNM) sudah tak cukup menggambarkan kompleksitas sosial ekonomi saat ini.
Hal senada juga disampaikan ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin. Ia menilai bahwa standar kemiskinan nasional saat ini terlalu rendah dan perlu disesuaikan secara bertahap dengan standar internasional agar kebijakan pemerintah lebih tepat sasaran.
Editor : Rizal Fadillah