Digital Tapi Terjajah: Ketika Ojol Jadi Tumbal Algoritma

SHOSHANA Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism menunjuk bahwa kapitalisme kontemporer tak hanya mengeksploitasi tenaga kerja, melainkan juga mengubah pengalaman manusia menjadi data yang dapat dipanen dan diperjualbelikan. Slavoj Žižek menambahkan gagasan “ideologi cyber-fetishisme”: bagaimana teknologi menyamarkan hubungan eksploitasi di balik narasi kemajuan dan efisiensi. Sementara Antonio Gramsci memberi kita kerangka untuk memahami hegemoni baru yang terbentuk melalui “common sense” digital, yang menormalisasi prekarisasi kerja.
Di Indonesia, konvergensi perspektif ini terealisasi nyata dalam kalkulasi data aktif dan pasif nasib 4,2 juta driver ojek online. Menurut BPS 2024, mereka berjuang agar diakui sebagai buruh, bukan sekadar “mitra bisnis” seperti diklaim platform digital. Data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan hanya sebagian kecil yang menjadi peserta mandiri, selebihnya bekerja tanpa jaminan sosial. Ironisnya, di tengah semua itu, Presiden Prabowo Subianto mendorong aplikasi memberikan “bonus hari raya” pada Idul Fitri 1446, mengambil jalan tengah walau pertanyaan mendasar soal status ketenagakerjaan belum tuntas.
Žižek dan “Enlightened False Consciousness”
Katakan seorang driver berkata kepada Pramoedya:
“Tuan, saya tahu kami bukan mitra sejati, tapi apa yang bisa kami lakukan? Kami harus tetap bekerja untuk makan anak.”
Inilah yang Žižek sebut enlightened false consciousness, kesadaran akan penindasan, namun tetap terperangkap karena pilihan lainnya sangat terbatas. Driver tahu platform tak peduli keselamatan mereka, namun tetap membuka aplikasi, menunggu orderan. Narasi “mitra bisnis” menjadi ilusi, sementara struktur yang menjerat tetap berdiri tegak.
Narasi “Ekonomi Berbagi” dan Kritik Ideologis
Žižek mengecam narasi “ekonomi berbagi” sebagai ideologi murni. Ketika Wakil Menaker Immanuel Ebenezer (Noel) menyatakan di sidang ILO, “Ojol adalah manusia yang harus dimanusiakan, bukan algoritma data dalam status kemitraan,”
itu merupakan pengakuan bahwa selama ini mereka diperlakukan seperti perpanjangan mesin.
Di sidang International Labour Conference di Jenewa, Juni 2025, ILO memutuskan bahwa driver ojol adalah pekerja digital yang berhak atas perlindungan buruh. Konvensi ini akan ditetapkan resmi pada 2026.
Gramsci menyebut proses ini sebagai “war of position”, perebutan ruang diskursif lewat serikat buruh global yang berhasil meruntuhkan narasi kemitraan buatan platform.
Data sebagai Senjata: Mengungkap Ketimpangan
Pramoedya percaya bahwa kebenaran sejati berada pada kehidupan orang-orang kecil, bukan retorika penguasa. Berikut fakta yang menegaskan nasib driver:
Total driver aktif: ±2 juta; baru ±250 ribu yang terdaftar BPJS Ketenagakerjaan masih ±1,75 juta yang tanpa jaminan JKK dan JKM.
Rata-rata pendapatan bruto: Rp 2,1 juta/bulan, jauh di bawah UMR di banyak kota.
Setelah potongan operasional (bensin, servis, helm, jaket, ponsel), pendapatan bersih hanya ±Rp 1,4 juta, sebuah “kemerdekaan digital” yang menindas.
Ekonomi platform RI bernilai US$27 miliar dan tumbuh 35 % per tahun, tapi sebagian besar keuntungan dinikmati korporasi multinasional, bukan para driver. Platform mengubah terms and conditions secara sepihak, bukan kemitraan, melainkan bentuk modern perbudakan berbaju teknologi.
Politik Kedermawanan Terhadap Realitas Struktural
Saat Presiden Prabowo menyebut soal penambahan bonus hari raya (BHR) sekitar Rp 1 juta, bahkan ada yang hanya dapat Rp 50 ribu atau tidak sama sekali, itu mencerminkan kontradiksi mendalam. Pramoedya tentu akan melihatnya sebagai mentalitas priyayi: memberi belas kasih tanpa mengubah struktur yang menindas. BHR ini adalah contoh paling jelas dari charity capitalism.
Žižek menyebutnya “ideology at its purest”: tindakan tampak progresif namun menyokong status quo. Meski Indonesia mendukung keputusan ILO, implementasi di tingkat nasional masih minim regulasi substantif, konvensi bisa saja jadi slogan kosong.
Dari Cultuurstelsel ke Algoritma
Dalam Bumi Manusia, pribumi dibentuk sebagai kelas terbawah, tunduk pada “cambuk” kolonial. Kini, algoritma platform digital menyandang peran cambuk baru yang tak terlihat, rating, suspend akun, dan manipulasi order menjadi alat kedisiplinan.
Driver bukan sekadar memberi layanan; mereka juga menyediakan data tentang pola hidup yang diubah jadi “behavioral futures” dan diperjualbelikan. Ini adalah kolonialisme data, lebih dalam dari kolonialisme fisik.
Bagian paling ironis: platform memberi narasi “jadilah bos untuk diri sendiri” sambil memberlakukan kontrol lebih ketat daripada hubungan kerja tradisional, GPS, rating, tracking penolakan order, semuanya mencerminkan bentuk baru dominasi.
Perjuangan Kemanusiaan: War of Position Digital
Bayangkan seorang driver bertanya:
“Mereka bilang kami mitra, tapi kenapa diperlakukan seperti babu? Kenapa rating bisa bikin kami kehilangan order? Kenapa kami gak boleh pilih order jauh?”
Perjuangan untuk status hukum adalah perjuangan untuk kemanusiaan, hak upah minimum, jaminan sosial, perlindungan kerja. Gramsci melihat ini sebagai “war of position”: narasi kemitraan harus dilawan lewat kesadaran kritis dan solidaritas kolektif.
GARDA dan Aliansi Driver Online adalah organic intellectuals, intelektual organik dari kelas pekerja yang merumuskan kesadaran kritis, tak hanya soal tarif, tapi soal posisi manusia di hadapan algoritma.
Melawan Amnesia Digital: Žižekian Wake‑Up Call
Pramoedya menegaskan pentingnya ingatan kolektif untuk melawan penindasan. Kata dia “jangan jadi bangsa amnesia.” Dalam konteks digital, amnesia ini menjadi normalisasi eksploitasi. Žižek menambahkan bahwa kita tak benar-benar lupa, tetapi melakukan “disavowal”:
“Saya tahu driver dieksploitasi, tapi tetap pakai aplikasi karena praktis.”
Tindakan kita, memberi rating rendah karena terlambat, memilih opsi termurah, hal itu secara tak sadar memperkuat sistem. Namun kita menolak tanggung jawab dengan mengatakan, “Itu tugas platform, bukan saya.”
Gramsci mengatakan ini bagian dari hegemoni platform: konsumen dipisahkan dari realitas produksi, sehingga eksploitasi tak terlihat.
Perlawanan terhadap kapitalisme pengawasan harus dimulai dari menolak amnesia ini, seperti yang dilakukan Pramoedya lewat penulisan: mendokumentasikan dan menyuarakan pengalaman driver sebagai bagian dari sejarah perjuangan kelas digital. Ini soal empati dan gagasan struktural.
Penulis adalah Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan RI
Editor : Rizal Fadillah