get app
inews
Aa Text
Read Next : Spanduk Sarkas Warnai Aksi Pekerja Wisata: Sindiran Tajam untuk Dedi Mulyadi

Dedi Mulyadi Ngaku 20 Tahun Tanpa Obat, Tapi Jalani Prosedur Medis?

Rabu, 23 Juli 2025 | 09:30 WIB
header img
Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi. (Foto: Ist)

BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Pernyataan Dedi Mulyadi soal gaya hidup tanpa konsumsi obat-obatan kimia kembali menjadi bahan perbincangan publik. Ucapan tersebut viral seiring mencuatnya kontroversi tragedi makan gratis dalam pernikahan anaknya yang menewaskan tiga orang warga.

Di tengah sorotan publik, integritas Dedi mulai dipertanyakan. Banyak yang menyoroti ketidaksesuaian antara pernyataan dan tindakan sang mantan Bupati Purwakarta itu, khususnya terkait komitmennya pada gaya hidup sehat tanpa obat selama lebih dari satu dekade.

Dalam wawancara bersama Deddy Corbuzier pada tahun 2021, Dedi mengungkapkan, "Saya sudah 15 tahun tidak pernah minum obat kimia." Bahkan ketika sedang sakit, ia memilih untuk hanya beristirahat tanpa intervensi medis, termasuk pengobatan tradisional.

Saat Deddy bertanya, “Jamu pun tidak?”, Dedi menjawab santai, menyatakan bahwa ia bahkan tidak menyentuh jamu-jamuan tradisional.

Ia pun mengisahkan awal mula komitmennya tersebut, yang berawal dari pertemuan dengan seorang dokter lulusan Australia yang berpraktik di bidang pengobatan alami. Kala itu, Dedi tengah mengalami demam tinggi dengan suhu mencapai 38–40 derajat. Dokter tersebut menantangnya untuk pulih tanpa obat. Ia hanya diberi air kelapa, teh madu, serta anjuran konsumsi buah-buahan sebagai bagian dari proses pemulihan alami.

Pernyataan senada kembali diungkap Dedi pada 2025. Dalam sebuah kesempatan, ia menegaskan, "Dokter pribadi saya adalah air putih, buah-buahan, matahari, dan olahraga. Dua puluh tahun saya hidup tanpa obat dan tidak pernah minum obat, dan tidak pernah sakit kepala sedikit pun, tidak pernah sakit perut. Alhamdulillah."

Namun, jejak digital menunjukkan kenyataan yang bertolak belakang. Pada 2022, Dedi Mulyadi diketahui menjalani prosedur medis modern di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta. Dalam proses tersebut, ia mendapatkan anestesi—yang ia akui sebagai pengalaman medis pertamanya.

Prosedur itu dilakukan oleh dr. Terawan Agus Putranto, mantan Menteri Kesehatan RI. Metode yang dijalani Dedi dikenal sebagai Digital Subtraction Angiography (DSA), yakni teknik medis canggih untuk mengatasi penyumbatan pembuluh darah, terutama untuk menjaga kelancaran suplai oksigen ke otak.

Dedi sempat menjelaskan, “Kita sehat tapi akan diambil tindakan agar lebih sehat lagi. Hanya ada di RSPAD yang dipimpin dr Terawan,” ujarnya.

Ia mengakui tindakan itu dilakukan atas saran dokter saraf yang menemukan indikasi adanya penyumbatan pada aliran darah menuju otak. Meski ia tetap menegaskan tidak mengonsumsi obat kimia, publik menyoroti bahwa prosedur DSA sendiri merupakan bagian dari intervensi medis invasif yang tak sejalan dengan klaim "hidup tanpa obat."

Pernyataan lanjutan dari Dedi, “Tidak ada apa-apa sih, hanya ada sesuatu yang harus segera dibenahi supaya lebih sehat lagi,” dinilai netizen sebagai upaya mengecilkan arti dari prosedur medis besar yang telah dijalani.

Reaksi publik pun bermunculan di media sosial. Salah satu komentar menyindir, “Kenapa sih harus ada jejak digitalnya? Padahal dikit lagi saya percaya loh pak.” Netizen lain menimpali, “Jejak digital memang kejam.”

Kontroversi ini semakin membesar karena dikaitkan dengan peristiwa makan gratis dalam pernikahan anak Dedi Mulyadi, Maula Akbar Mulyadi, dengan Putri Karlina di Garut. Sebelum kejadian tragis itu, Dedi sempat mengundang masyarakat untuk hadir dan makan sepuasnya di acara tersebut. Namun, setelah insiden yang menewaskan tiga orang warga, Dedi justru menyatakan tidak mengetahui adanya pembagian makan gratis dan mengklaim telah melarangnya.

Kontradiksi antara ucapan awal dan klarifikasi pasca-kejadian memperbesar keraguan publik terhadap kredibilitas sang tokoh.

Di era digital seperti sekarang, rekam jejak sulit dihapus. Publik tak hanya mendengar apa yang disampaikan, tetapi juga dapat menelusuri apa yang telah dilakukan. Narasi yang tidak konsisten berpotensi menjadi bumerang, terutama ketika publik mulai menguji validitasnya berdasarkan bukti nyata.

Editor : Agung Bakti Sarasa

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut