IAW Bongkar Dugaan Permainan di Balik Proyek Chromebook Kemendikbud

BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Indonesian Audit Watch (IAW) mengkritisi skandal pengadaan Chromebook oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai indikasi kuat keberadaan shadow government — praktik pengaruh informal yang memengaruhi kebijakan publik dari luar jalur resmi pemerintahan.
Kecurigaan tersebut diperkuat oleh temuan Kejaksaan Agung yang menyebut adanya grup WhatsApp bernama “Mas Menteri Core Team” yang telah aktif sejak Agustus 2019, atau dua bulan sebelum Nadiem Makarim secara resmi dilantik sebagai Menteri. Grup itu disebut telah mendiskusikan proyek digitalisasi pendidikan bernilai triliunan rupiah, jauh sebelum posisi formal dijabat.
"Belum dilantik, belum punya kewenangan, tapi sudah mengatur proyek triliunan rupiah. Inilah ironi negara," tegas Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri IAW dalam keterangan tertulis, Selasa (29/7/2025).
Menurut IAW, grup WhatsApp tersebut bukan sekadar forum informal. Di dalamnya, terdapat individu yang memiliki kaitan dengan sejumlah perusahaan besar, terutama yang memiliki kepentingan dalam proyek digitalisasi pendidikan. Iskandar menyebut, arah kebijakan pengalihan sistem pendidikan dari Windows ke Chrome OS bermula dari sini.
"Terlihat jahat individu dan korporasi berkomplot, masa kita diam saja? Masa itu ditoleransi?" ujar Iskandar. Ia menekankan bahwa kebijakan publik semestinya melalui kajian resmi dan disahkan oleh pejabat yang berwenang, bukan hasil dari diskusi privat.
Hasil penelusuran IAW pada sistem LPSE Kemendikbudristek juga menunjukkan dugaan penguncian spesifikasi dalam proses tender bernomor P.3462023. Persyaratan teknis dalam dokumen tersebut secara eksplisit mengarah pada produk dan layanan Google, seperti Chrome OS, lisensi Google for Education, serta sistem manajemen berbasis Google.
"Artinya, spesifikasi itu sudah dikunci untuk vendor tertentu bahkan sebelum tender diumumkan. Siapa yang menguasai pasar perangkat dan lisensi Google di Indonesia? Ada tuh, inisialnya D," ungkap Iskandar, merujuk pada perusahaan yang pernah diperiksa oleh Kejaksaan pada 2023.
IAW juga menyoroti pola pengadaan selama 2020 hingga 2022 yang mayoritas dilakukan melalui penunjukan langsung. Sebanyak 78 persen proyek diklaim tidak melalui mekanisme lelang terbuka, yang bertentangan dengan prinsip transparansi dan persaingan usaha yang sehat.
“Perusahaan itu saat ini sedang resah, mencoba hendak 'cuci tangan' padahal bukti sudah ada, yakni sebagai salah satu pihak yang terafiliasi kasus korupsi Chromebook. Vendor lain sepertinya tidak mungkin mampu untuk menyaingi,” tambah Iskandar.
Menurut IAW, praktik semacam ini tidak hanya melanggar etika, tetapi juga masuk dalam kategori pelanggaran hukum. Mereka menyebut sejumlah pasal yang relevan, mulai dari UU Tindak Pidana Korupsi, UU Administrasi Pemerintahan, UU Persaingan Usaha, hingga KUH Perdata.
"Preseden hukumnya sudah ada. Mahkamah Agung pernah menegaskan dalam putusan No. 45 PK/PID.SUS/2023 bahwa perencanaan pengadaan sebelum jabatan resmi bisa dikategorikan sebagai konspirasi korupsi," jelasnya.
Iskandar juga membandingkan fenomena ini dengan kasus-kasus serupa di luar negeri. Google, misalnya, pernah dikenai denda sebesar USD 170 juta di AS karena mengumpulkan data siswa melalui Chromebook. Spanyol juga menjatuhkan sanksi antimonopoli €15 juta atas proyek EDU 365. Nigeria dan Korea Selatan pun mengalami kerugian akibat pengadaan digital yang tak sesuai kebutuhan lokal.
"Pelajaran buat Indonesia? Perancang, pelaku, dan penikmat dari kejahatan serapi itu harus sesegera diberangus semaksimal mungkin!" tegasnya.
Untuk itu, IAW mendesak tindakan korektif segera dilakukan. Beberapa langkah yang diusulkan antara lain audit forensik oleh BPK dan PPATK sejak 2019, penyelidikan oleh Kejaksaan dan KPK terhadap proses pra-jabatan, serta revisi UU Tipikor agar memuat pasal tentang korupsi dalam tahap perencanaan. IAW juga mendorong gugatan perdata terhadap perusahaan global dan mitra lokal yang terlibat.
"Jika dibiarkan, kita akan terus jadi negara yang dijajah teknologi dengan restu kekuasaan. Ketika rencana dibuat sebelum jabatan dimulai, saat itulah negara kehilangan kendali atas kedaulatannya sendiri. Kami yakin negara melalui aparat penegak hukum Kejaksaan Agung dan KPK bisa lebih tegas lagi menyidik perilaku jahat tersebut," tegas Iskandar.
Ia menutup dengan mengingatkan bahwa transformasi digital dalam dunia pendidikan seharusnya berpihak pada siswa, bukan menjadikan mereka objek eksperimen kebijakan.
"Digitalisasi dan modernisasi pendidikan tidak boleh menjadikan siswa sebagai kelinci percobaan. Apalagi jika kebijakan tersebut lahir dari ruang-ruang obrolan informal, penuh konflik kepentingan, dan hanya menguntungkan korporasi global,” pungkasnya.
Editor : Agung Bakti Sarasa