Bekerja dengan Hati, Hidup dengan Arti: Kisah Bos Koi

BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Di balik keberhasilannya sebagai sosok pengusaha yang dihormati, Hartono Soekwanto—yang akrab dikenal sebagai Bos Koi—menyimpan pandangan hidup yang penuh makna dan menyentuh. Dalam satu wawancara, ia membagikan prinsip-prinsip hidup yang terus menuntunnya, baik dalam karier maupun perjalanan spiritual.
Hartono memandang bahwa esensi kebahagiaan sejati terletak pada tindakan memberi. “Ada kegembiraan dalam memberi, ada sukacita dalam memberi. Membuat orang lain bahagia itu ibadah,” ungkapnya saat diwawancarai media pada Senin (4/8/2025).
Namun, selain semangat memberi, ia juga menekankan pentingnya membangun reputasi dengan usaha yang gigih. Ia mengutip sebuah pepatah dari budaya Tiongkok yang menyebut bahwa nama baik harus diperjuangkan, sementara kehormatan atau "muka" adalah penghargaan yang datang dari orang lain.
“Nama harus kita kejar, supaya orang lain menghargai kita dengan memberi muka,” tuturnya tegas.
Nilai-nilai tersebut ia wariskan kepada anak-anaknya. Ia ingin mereka tumbuh sebagai pribadi yang memiliki harga diri dan semangat juang, bukan hanya menikmati kenyamanan dari warisan. Meskipun berasal dari keluarga yang tidak kekurangan secara materi, Hartono memilih untuk keluar dari zona nyaman demi menemukan jati diri.
“Saya tinggalkan semua. Saya naik motor, ngelesin Bahasa Inggris, kerja apa aja. Dikasih mobil tapi nggak mampu beli bensin,” kenangnya sambil tersenyum getir.
Salah satu pengalaman yang paling membekas baginya terjadi ketika ia harus membeli ban bekas seharga Rp50.000 hanya agar bisa menghadiri wawancara kerja di Jakarta.
“Bapaknya kayaknya udah meninggal dan sekarang bannya udah nggak ada. Cuman saya masih ingat kayaknya diterusin anaknya. Jadi tiap ganti ban baru, saya bilang ke supir saya, kirimkan ke sana. Sampe orangnya kaget, ada yang ngirim ban,” kenangnya, dengan nada penuh haru.
Baginya, kenangan semacam itu bukan sekadar nostalgia, melainkan ungkapan terima kasih dan penghormatan pada mereka yang telah membantunya di masa sulit.
“Kita sudah di atas, kasarnya sudah menuju atas, sudah berkecukupan, kita masih ingat doa-doanya orang yang berkekurangan itu bagaimana. Itu kita selalu ingat. Kita bisa di atas, kita pernah di bawah,” ujarnya.
Hartono yakin bahwa keberhasilan bukan hanya milik mereka yang cerdas atau beruntung, tetapi juga mereka yang tetap membumi dan tidak melupakan masa lalu.
“Sudah S1, bukan berarti berhasil. Itu baru start di angka 5. Karena ternyata saya pikir saya udah lulus sekolah, itu saya udah punya segalanya, saya pinter segala. Ternyata saya bodohnya luar biasa.”
Kini, filosofi hidup itulah yang terus ia pegang teguh dalam menjalani aktivitas dan membangun relasi: kerja keras, rendah hati, menghargai sesama, dan selalu mengenang jasa orang lain.
“Itu prinsip. Orang yang membukakan jalan buat kita, sekecil apa pun, harus kita ingat,” tutupnya.
Editor : Agung Bakti Sarasa