Pelantikan Pejabat Akademik IPDN Tuai Sorotan, Publik Pertanyakan Netralitas dan Integritas

BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Prosesi pelantikan pejabat akademik di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang dijadwalkan berlangsung Selasa (22/9/2025) pukul 13.00 WIB di Plaza Rektorat mendadak memantik kontroversi. Alih-alih menjadi seremoni akademik biasa, publik justru menilai momentum ini sarat tanda bahaya bagi masa depan lembaga pencetak pamong praja tersebut.
Sejumlah kalangan menilai, kebijakan rotasi dan pengisian jabatan kali ini beraroma diskriminasi, nepotisme, hingga ketidakadilan kultural. Kritik mengemuka bahwa IPDN yang semestinya menjadi kawah candradimuka penjaga kebhinekaan malah dikhawatirkan bergeser menjadi institusi yang eksklusif dan rapuh menghadapi perbedaan.
Selama ini, IPDN dikenal menempatkan para alumninya sebagai garda depan dalam menjaga marwah dan mengisi jabatan strategis. Namun, kebijakan baru dinilai mulai menyingkirkan tradisi tersebut. Publik mempertanyakan, apakah IPDN kini tengah diarahkan sebagai laboratorium kepentingan pribadi alih-alih rumah besar bagi anak didiknya sendiri.
Sorotan juga tertuju pada mutasi sejumlah pejabat non-Muslim yang dinilai memunculkan kesan diskriminatif. Selain itu, posisi penting yang diisi oleh figur dari daerah yang sama dengan pimpinan kampus juga menimbulkan tanda tanya besar. Kondisi ini memicu kekhawatiran bahwa IPDN berubah menjadi “forum paguyuban daerah”, bukan lagi lembaga nasional yang netral.
Di tanah Sunda, tempat IPDN berdiri, masyarakat setempat merasa tersinggung karena satu-satunya figur Sunda di posisi strategis justru digeser. Bagi sebagian kalangan, langkah tersebut bukan sekadar rotasi administratif, melainkan simbol ketidakadilan terhadap masyarakat Pasundan yang menaruh harapan besar pada IPDN.
Tokoh masyarakat Jawa Barat, H. Rahmat Gunawan, menilai keputusan pelantikan kali ini terlalu tergesa-gesa dan minim kebijaksanaan. “Kalau pimpinan IPDN mengambil keputusan strategis tanpa memperhatikan keseimbangan itu, maka yang terjadi bukanlah penguatan nasionalisme, melainkan lahirnya pamong praja yang cenderung eksklusif, sentimen, dan rapuh menghadapi realitas kebhinekaan Indonesia,” tegasnya.
Ia juga menyindir kebijakan yang tidak memberi ruang cukup bagi alumni. “Kalau bukan alumni yang diberi ruang, lalu siapa lagi? Itu sama saja dengan menafikan marwah lembaga sendiri,” ujarnya.
Rahmat turut menyoroti gesernya figur Sunda dari jabatan strategis. “Ini tanah Sunda, dan hanya satu orang Sunda yang duduk di posisi strategis justru digeser. Apa tidak ironis? Masyarakat Pasundan tentu merasa dikhianati,” katanya.
Terkait aroma nepotisme, ia menilai langkah tersebut sebagai bukti nyata bahwa kebijakan tidak didasarkan pada meritokrasi. “Kalau pola seperti ini dibiarkan, IPDN bisa berubah menjadi paguyuban daerah, bukan lagi kawah candradimuka nasional,” sindirnya.
Lebih jauh, Rahmat mengungkap adanya isu soal oknum di lingkungan kampus yang hidup dalam kemewahan mencurigakan.
“Bagaimana mau melahirkan pamong praja yang jujur kalau kampusnya sendiri penuh tanda tanya soal integritas?” ungkapnya.
Rahmat menegaskan, pelantikan sebaiknya ditunda. “Kalau dipaksakan, sejarah akan mencatat bahwa IPDN pernah dipimpin dengan cara-cara yang tidak bijaksana, menyingkirkan kearifan lokal, dan menumbuhkan sentimen sempit. Itu bukan hanya bahaya bagi Jawa Barat, tapi juga bagi masa depan Indonesia,” pungkasnya.
Editor : Agung Bakti Sarasa