Pesantren di Bandung Jadi Pelopor Pertanian Terpadu dan Kemandirian Ekonomi Desa
BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono menilai Pondok Pesantren (Ponpes) Al Ittifaq di Desa Alamendah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, sebagai contoh nyata lembaga pendidikan keagamaan yang mampu mengintegrasikan pendidikan dengan kemandirian ekonomi melalui sektor agribisnis.
Dalam kunjungannya ke Ponpes Al Ittifaq, Rabu (8/10), Sudaryono mengaku kagum dengan sistem pertanian terpadu yang diterapkan. Menurutnya, pesantren tersebut bukan hanya fokus pada pendidikan agama, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi masyarakat sekitar.
“Di sini terlihat nyata bagaimana ada integrasi antara lembaga pendidikan pesantren dengan agribisnis. Pesantren ini menjadi agregator dan fasilitator bagi masyarakat sekitar, baik yang menggarap kebun pesantren seluas 14 hektare maupun kebun binaan seluas 400 hektare,” ujarnya.
Sudaryono menyebut model pengelolaan seperti yang dijalankan Al Ittifaq bisa dijadikan percontohan nasional. Ia mendorong agar sistem serupa diterapkan di banyak daerah lain, terutama di wilayah dengan potensi pertanian serupa.
“Kalau metode ini berhasil di Rancabali, maka harus bisa di-copy dan diterapkan di tempat lain. Supaya keberhasilan ini menjadi gerakan nasional,” kata Sudaryono.
Ia menuturkan, sistem pertanian di Al Ittifaq telah menerapkan metode modern seperti tumpang sari empat varietas tanaman dalam satu bedengan. Teknik ini diadaptasi dari pertanian Jepang dan Belanda, namun disesuaikan dengan kondisi lahan dan iklim Indonesia.
“Ilmu dari luar negeri tidak bisa diterapkan mentah-mentah. Harus disesuaikan, dan di sini sudah dilakukan penyesuaian itu. Karena itu saya menugaskan Dirjen Hortikultura untuk menjadikan Al Ittifaq sebagai tempat pelatihan bagi anak muda dari daerah lain,” jelasnya.
Wamentan juga menyoroti peran koperasi pesantren yang menjadi kunci kesejahteraan petani binaan. Koperasi tersebut tidak hanya menampung hasil panen, tetapi juga menjalankan fungsi quality control agar produk sesuai standar pasar modern.
“Dari koperasi pesantren ini ditentukan standar sortirnya. Mana yang masuk ke pasar tradisional, mana yang ke supermarket. Jadi petani paham kualitas dan ada nilai tambah di sana,” ujarnya.
Menurut Sudaryono, dua hal utama yang ingin dicapai melalui sistem ini adalah peningkatan produktivitas dan kemandirian pangan nasional.
“Produktivitas tinggi akan membuat kita mandiri secara pangan, sekaligus mensejahterakan petani,” tegasnya.
Ia juga menyinggung tentang penguatan komoditas hortikultura dalam negeri yang dinilai sudah cukup kuat. Namun, beberapa komoditas seperti jeruk dan anggur masih perlu ditingkatkan agar tidak bergantung pada impor.
“Hortikultura kita sudah baik, tapi masih ada komoditas yang perlu digenjot produktivitasnya. Keinginan Presiden jelas: apa yang bisa diproduksi di dalam negeri, jangan diimpor,” ujarnya.
Selain menyoroti kemandirian pangan, Sudaryono juga menegaskan bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijalankan pemerintah memiliki dampak besar terhadap pemerataan ekonomi desa.
“Program MBG ini bukan cuma soal makan. Ini pemerataan gizi sekaligus penggerak ekonomi rakyat. Bukan bikin orang kaya tambah kaya, tapi membuat masyarakat yang tadinya miskin jadi sejahtera,” tegasnya.
Menurutnya, pelaksanaan MBG menciptakan emerging market baru bagi produk pertanian dalam negeri. Saat ini baru sekitar delapan ribu dapur MBG beroperasi di Indonesia, dan jumlah itu akan terus bertambah seiring peningkatan kebutuhan bahan pangan.
“Kalau jumlah dapur MBG bertambah, kebutuhan sayur, hortikultura, buah-buahan, hingga protein hewani juga meningkat. Uang dari kota akan berputar di desa,” jelasnya.
Ia menambahkan, satu dapur MBG dapat menyerap hingga 50 tenaga kerja langsung dan melibatkan sekitar 200 orang dalam rantai pasoknya.
“Mulai dari petani, pemasok, hingga transportasi, semuanya ikut bergerak,” kata Sudaryono.
Terkait kritik soal menu MBG yang dianggap tidak sesuai selera anak-anak, Sudaryono menilai hal itu wajar.
“Anak saya di rumah juga ada yang tidak suka sayur. MBG ini bukan soal enak tidak enak, tapi soal gizi,” ujarnya.
Ia menegaskan, menu MBG telah disusun dengan memperhatikan kebutuhan gizi seimbang anak-anak, termasuk protein, karbohidrat, dan vitamin.
“Kenapa harus ada ayam, kacang, susu, karena itu bagian dari pemerataan gizi,” tambahnya.
Sudaryono menutup kunjungannya dengan ajakan agar semua pihak mendukung dan tidak memperbesar masalah kecil dalam pelaksanaan program strategis ini.
“Kalau ada kekurangan, mari kita perbaiki. Tapi secara konsep, MBG ini sudah baik. Kalau program ini jalan terus, bukan hanya anak-anak kita yang sehat, tapi petani juga sejahtera dan ekonomi desa makin kuat,” pungkasnya.
Editor : Rizal Fadillah