Wali Kota Ngepos di Kelurahan, Hasilnya: Bandung Perlu Sustainability Struktural
BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Kolaborasi penting untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Kota Bandung resmi dimulai melalui acara Bandung Sustainability Summit 2025 yang diselenggarakan di Aula Barat, Institut Teknologi Bandung (ITB), pada Kamis (6/11/2025).
Acara ini merupakan hasil kerja sama antara Suvarna Sustainability, Fakultas Teknik Sipil & Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan menyampaikan apresiasi atas inisiatif ini, yang menyebutnya sebagai hal yang luar biasa.
"Ini satu hal yang luar biasa karena untuk pertama kalinya kita mulai menyadari bahwa apapun yang kita buat di Kota Bandung ini harus memiliki keberlanjutan dan keberlanjutan itu harus struktural sehingga siapapun nanti yang mengelola Kota Bandung, mau rektornya ganti, mau wali kotanya ganti, tetap aja konsep dari pembangunan tersebut berjalan secara berkelanjutan," ucap Farhan ditemui usai acara.
Lebih lanjut, Farhan menekankan bahwa Bandung Sustainability Summit 2025 akan menjadikan keberlanjutan tidak hanya sebagai konsensus, tetapi juga sebagai pengukuran yang kuantitatif.
“Itu sebabnya Bandung Sustainability kami ini menjadi penting karena sustainability tersebut akan dijadikan tidak hanya sebagai sebuah konsensus tapi juga menjadi pengukuran yang kuantitatif,” imbuhnya.
Fokus awal keberlanjutan ini akan dimulai dari bidang infrastruktur. Farhan secara khusus mengajak akademisi ITB untuk menjadikan wilayah-wilayah Kota Bandung sebagai Living Lab.
"Maka saya mengundang lewat forum ini teman-teman akademisi untuk datang ke wilayah, pemukiman-pemukiman, mencari solusi," ujarnya.
Ajakan ini sejalan dengan programnya, Prakarsa Utama, di mana ia berkantor di kelurahan dan menemukan bahwa setiap dari 1.597 RW memiliki kekhasan permasalahan yang unik.
“Karena, saya kan sekarang lagi keliling nih lewat program Prakarsa Utama di mana saya berkantor di kelurahan setiap hari Senin sampai Jumat dan saya akan mulai dari daerah pemukiman-pemukiman,” katanya.
“Nah, setiap pemukiman yang biasanya diwakili oleh Dasa Wisma atau RW itu memiliki kekhasan permasalahan yang unik,” lanjutnya.
Farhan juga menyoroti kompleksitas Kota Bandung, termasuk perbedaan elevasi yang signifikan—dari 1.100 meter di Punclut hingga 680 meter di Cimencrang, yang menyebabkan perbedaan karakter hidrometeorologi. Hal ini membutuhkan penyelesaian yang khas di setiap wilayah namun tetap sustain di seluruh kota.
Isu penanganan sampah juga menjadi perhatian. Farhan memberi contoh perbedaan karakter sampah.
“Kalau kita bicara Ciwastra itu mungkin hampir sama dengan Gedebage, banyak sekali sampah-sampah organiknya. Tetapi kalau kita bicara Cigondewah misalnya, maka sampahnya adalah sisa-sisa tekstil dan plastik,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa sistem keberlanjutan adalah kunci untuk menghindari penyelesaian jangka pendek.
Di tempat yang sama, Rektor ITB, Prof. Tatacipta Dirgantara menyambut baik inisiatif ini. Ia menyatakan bahwa Bandung Sustainability Summit ini melanjutkan spirit Bandung yang dulu dikenal sebagai Kota Asia Afrika.
“Jadi, ini tuh Bandung Sustainability Summit ini melanjutkan spirit Bandung. Dulu Bandung pernah jadi kota Asia Afrika. Nah, sekarang ini mau meng- menghadirkan ide tentang keberlanjutan,” ucapnya.
Prof. Tatacipta juga menekankan pentingnya sinergi dalam mewujudkan keberlanjutan.
"Dan yang namanya keberlanjutan itu tidak bisa hanya akademisi saja atau pemerintah saja. Harus kerja sama akademisi, pemerintah, industri, masyarakat sipil, termasuk juga media," tegasnya.
Ia berharap forum ini akan melahirkan rencana aksi-rencana aksi konkret yang dapat diimplementasikan, sejalan dengan harapan Wali Kota Bandung.
Kolaborasi ini diharapkan menjadi langkah awal yang kuat dalam menciptakan model pembangunan kota yang tidak hanya maju, tetapi juga berkelanjutan dan adaptif terhadap tantangan lokal yang unik di Kota Bandung.
“Nah, inilah forumnya sekarang dan mudah-mudahan dari forum ini nanti muncul rencana aksi-rencana aksi yang tadi Pak Wali Kota sampaikan,” imbuhnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB, Dr. Eng. Nita Yuanita sebagai Ketua Steering Committee BSS 2025, menegaskan sebagai institusi pendidikan teknologi, ITB memiliki tanggung jawab untuk menghadirkan solusi ilmiah bagi tantangan keberlanjutan.
“Melalui BSS 2025 dan inisiasi pembentukan Sustainability Centre of Excellence, kami ingin menjembatani dunia akademik, kebijakan publik, dan sektor industri agar bersama-sama melahirkan aksi konkret menuju masa depan rendah karbon,” ungkapnya.
Co-Founder & Director Suvarna Sustainability, Abbie Ardiwinata menyampaikan bahwa BSS 2025 bukan hanya forum diskusi, melainkan langkah awal membangun keterpaduan antara tiga pilar penting (triplehelix) pembangunan berkelanjutan, yaitu pemerintah, akademisi dan sektor swasta.
“BSS 2025 kami rancang sebagai ruang sinergi yang mempertemukan kebijakan, ilmu pengetahuan, dan inovasi bisnis. Kami percaya, keberlanjutan hanya dapat diwujudkan bila ketiga unsur ini bergerak seiring—pemerintah dengan arah kebijakan, akademisi dengan basis pengetahuan, dan sektor swasta dengan kemampuan implementasi,” katanya.
“Ke depan, kami ingin BSS menjadi forum yang berkesinambungan—bukan sekadar pertemuan tahunan, melainkan wadah pertukaran gagasan dan tindakan nyata untuk membangun masa depan yang tangguh dan bertanggung jawab,” tandasnya.
Editor : Rizal Fadillah