Orang Tua Korban Tak Puas dengan Vonis Ringan Pelaku Intip Siswi SMAN 12 Bandung
BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Orang tua korban tidak terima dengan vonis ringan yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung terhadap AS (12) pelaku pengintipan siswi SMAN 12 Bandung.
Terdakwa AS hanya divonis hukuman 1 tahun dan denda Rp250 juta subsider 1 tahun penjara jauh lebih rendah dibanding tuntutan 1 tahun 6 bulan penjara.
Vonis itu dibacakan majelis hakim dalam persidangan di PN Bandung, Jalan RE Martadinata, Kota Bandung, Kamis (20/11/2025).
"Kami, orang tua korban kasus perekaman kamera tersembunyi dengan terpidana Angga Siregar, merasa tidak puas dengan vonis yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung," kata orang tua korban berinisial NP, OR, JS, dan WS pernyataan tertulis, Kamis (20/11/2025).
"Kami merasa selama proses hukum kasus ini, hak-hak anak kami sebagai korban tidak difasilitasi," ujar orang tua korban.
Mereka mengatakan, awam dan tidak paham bagaimana caranya agar bisa menuntut keadilan. Karena itu, orang tua mempercayakan sepenuhnya penyelesaian kasus ini kepada aparat hukum, mulai dari polisi, jaksa, majelis hakim, dan juga LPSK.
Namun dalam perjalanannya, mereka menemukan beberapa hal yang menimbulkan pertanyaan.
Pertama, mengapa pasal yang didakwakan hanya satu, yakni, Pasal 29 Undang-Undabg tentang Pornografi yang pidananya minimal 6 bulan dan maksimal 12 tahun?
"Mengapa Undang-Undang Perlindungan Anak tidak disertakan, padahal dua dari empat korban saat kejadian masih di bawah umur," kata orang tua korban.
Kedua, orang tua korban tidak difasilitasi untuk mendapatkan hak restitusi dan tidak mendapat arahan bagaimana caranya mengajukan restitusi, padahal restitusi adalah hak korban seperti tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Hingga akhirnya, restitusi itu tidak bisa disertakan dalam tuntutan JPU karena LPSK sampai sidang putusan digelar hari ini belum juga menyelesaikan permohonan restitusi.
Ketiga, mengapa petugas dari Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) tidak dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan?
Padahal menurut orang tua korban, kesaksian PPA bisa memberatkan terdakwa karena PPA bisa membuktikan dampak psikologis perbuatan terdakwa terhadap anak-anak mereka.
Keempat, kalau hakim mengabulkan HP pelaku yang menjadi barang bukti dimusnahkan, orang tua khawatir hal itu akan menghilangkan bukti ratusan video hasil rekaman kamera tersembunyi di toilet sekolah dan tempat lain yang dilakukan si terdakwa.
Kasus video di toilet sekolah masih mandek di Polrestabes Bandung karena barang buktinya diserahkan ke Polda Jabar untuk penyelesaian kasus ini.
"Sekali lagi kami tidak puas dengan putusan hakim, kami merasa tidak mendapatkan keadilan hukum," tutur orang tua korban.
Lebih lanjut, para orang tua korban mengatakan, para korban, sampai saat ini masih mengalami trauma, gangguan kecemasan, bahkan histeris ketika memikirkan kasus ini.
Diketahui, AS (18) siswa SMAN 12 Bandung merekam kegiatan teman wanitanya di toilet vila saat acara perpisahan di Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB) pada Desember 2024 lalu.
Sementara itu, terdakwa AS tidak menerima dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp250 juta.
“Tidak menerima, bahwa itu tidak terbukti melanggar Pasal 29. AS tidak ada memviralkan, tidak mempertontonkan terhadap orang lain,” kata Rusman, kuasa hukum AS yang merupakan alumni SMAN 12 Bandung.
Rusman menegaskan, video itu tidak disebar oleh AS. “Tidak (jual beli), memviralkan tidak, konsumsi pribadi,” tambahnya.
Disinggung apakah terdakwa AS memiliki kelainan seksual, Rusman menuturkan tidak. “Tidak ada kelainan. Normal. Kenakalan remaja. Kami akan banding,” ujarnya.
Jaksa penuntut umum (JPU) Rully mengatakan, vonis terhadap pelaku lebih ringan dari tuntutan. Disinggung terdakwa akan melakukan banding, tim JPU juga pikir-pikir untuk menempuh langkah hukum itu.
“Karena terdakwa pikir-pikir, kita juga sama, selama 7 hari,” kata Rully.
Editor : Agus Warsudi