BANDUNG, INEWSBANDUNGRAYA - Malam Jumat jadi salah satu waktu yang disunnahkan Rasullah SAW untuk memperbanyak ibadah, seperti Al-Qur'an terutama Surah Al Kahfi dan memperbanyak bersholawat kepada Nabi Muhammad.
Namun, apakah berhubungan suami istri di Malam Jumat termasuk dari sunnah Rasulullah? Berikut penjelasannya.
Dilansir dari laman nu.or.id, sunah Rasulullah yang bertemakan tentang keluarga telah tercantum secara rapi dalam kitab induk hadits oleh muhadditsin.
Seperti berbakti kepada orang tua, memberikan nama untuk anaknya, mengakikahi, mengajarkan shalat, menikah, termasuk hubungan suami istri.
Khusus berkaitan dengan jima’ atau berhubungan suami istri, terdapat hadits dalam kitab Shuab al-Iman (4/409) karya al-Bayhaqi dari riwayat Abu Hurairah dari Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يُجَامِعَ أَهْلَهُ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ فَإِنَّ لَهُ أَجْرَيْنِ أَجْرُ غُسْلِهِ، وَأَجْرُ غُسْلِ امْرَأَتِهِ
Artinya: Apakah kalian tidak mampu mengumpuli istri (jima’) setiap hari Jumat? Sebab di hari itu terdapat dua pahala; pahala mandi dan pahala (yang menyebabkan) istri mandi.
Selanjutnya dijelaskan bahwa:
فَإِنَّهُ إِذَا فَعَلَ ذَلِكَ كَانَ أَغَضَّ لِلْبَصَرِ حَالَ الرَّوَاحِ إِلَى الْجُمُعَةِ فَفِي الْقَدِيمِ كُنَّ النِّسَاءُ يَحْضُرْنَ الْجُمُعَةَ وَاللهُ أَعْلَمُ
Artinya: Sesungguhnya jima’ setiap hari Jumat akan menundukkan mata (nafsu) pada saat Jumatan. Perlu diketahui bahwa di zaman dulu perempuan juga ikut melaksanakan Jumatan.
Meskipun secara sanad hadits di atas oleh beberapa kritikus hadits (al-jarh wa al-ta’dil) seperti Ali bin al-Madini, Ahmad bin Hanbal, digolongkan dhaif dan oleh Al-Nasai dikategorikan dhaif wa matruk al-hadits. Namun, secara kandungannya memiliki kesesuaian (munasabah) dengan hadits lain yang menganjurkan mandi besar.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ ، وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ ، وَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا أَجْرُ سَنَةٍ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا
Artinya: Barang siapa yang mandi pada hari Jumat (dengan membasuh kepala dan anggota badan lainnya), membuat mandi, pergi di awal waktu, mendapati khutbah pertama, mendekat pada imam, mendengar khutbah, serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun. (HR Tirmidzi).
An-Nawawi menjelaskan, bila ditinjau dari harakatnya; ghasala, takhfif pada huruf sin dan ghassala, tasydid pada huruf sin. Dua cara baca ini adalah dua riwayat yang masyhur dan redaksi yang kuat (rajih) adalah tanpa tasydid huruf sin.
Adapun ghassala dengan tasydid, menurut Ibnu Qayyim dalam Zadul Maad artinya berhubungan intim dengan istri. Al-Qayyim berkata: Makna gassala adalah berhubungan intim dengan istrinya sesuai penafsiran Al-Waki.
Dalam redaksi hadits lain disebutkan bahwa sunah mandi besar bukan berarti identik jima’, akan tetapi cara mandi besar di hari Jumat itu seperti cara mandi besar sebab jima’; niat, mengalirkan air ke seluruh tubuh, bersabun, keramas, menggosok lobang dan lipatan tubuh.
Dari sini bisa dipahami bahwa hubungan suami istri di malam Jumat kurang memiliki argumentasi kuat, sebab beberapa hadis yang sahih malah menganjurkan menghidupkan malam Jumat dengan qiyamullail, dzikir, taqarub kepada Allah. Bukan jima’.
Lantas bagaimana agar mendapatkan kesunahan jima’ pada hari Jumat? Bila merujuk pada redaksi hadits, maka pemahaman terdekat adalah jima’ sebelum menunaikan shalat Jumat. Tepatnya sejak pagi sampai sebelum shalat Jumat, bukan pada malam hari (sebelum subuh).
Terlepas dari itu semua, hubungan intim bila dipahami secara mendalam sebenarnya memiliki orientasi untuk membangun rumah tangga yang didasari mawaddah (cinta), sakinah (tentram), kemudian rahmah (kasih sayang) tanpa terbatas pada hari Jumat saja. Sebab di antara tujuan hubungan intim selain mencetak keturunan adalah memunculkan perasaan-perasaan tersebut. Wallahu a’lam.***
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait