BANDUNG, INEWSBANDUNGRAYA - Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat (Disnakertrans Jabar) mencatat ada 4.800 pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Data ini merupakan akumulasi dari Januari hingga November 2022.
Begitu disampaikan Kepala Disnakertrans Jabar, Rachmat Taufik Garsadi, Rabu (9/11/2022).
"Data inkrahnya (pasti) yang di-PHK baru 4.800 orang. Yang besar (jumlahnya) itu habis kontrak dan itu juga tidak semua. Kebanyakan diperpanjang lagi," kata Rachmat.
Berdasarkan data yang ada di Disnakertrans Jabar, jumlah pekerja yang habis masa kontrak kerjanya lalu diperpanjang kembali mencapai 100.000-an pekerja. Walau sudah diperpanjang lagi, mereka sempat mengambil Jaminan Hari Tua (JHT) dari BPJS Ketenagakerjaan.
Rachmat menyebut, 4.800 yang di PHK berasal dari berbagai sektor. Akan tetapi, sektor terbanyak penyumbang PHK tersebut adalah garmen dan perusahaan padat karya lainnya yang dihimpun dari seluruh kabupaten/kota di Jabar.
"Kebanyakan memang dari padat karya yang tutup, seperti garment dan alas kaki di Subang, Bogor, Sukabumi, dan Purwakarta," bebernya.
Ditanya terkait maraknya isu gelombang PHK di tingkat nasional, menurutnya, isu ini muncul seiring rencana pengurangan ekpor. Kendati demikian, Jabar sudah punya solusi yaitu adanya kerja sama dengan The International Labor Organization (ILO) Indonesia untuk jaminan buruh.
Setidaknya ada 27 perusahaan yang bekerjasama dan dilindungi ILO. Jika dikalkulasi ada sekitar 60.000-an pekerja yang mendapat perlindungan dari ILO Indonesia.
"Perusahaan yang terkendala ada pengurangan jam kerja sehingga perusahaan masih bertahan sampai sekarang," ungkapnya.
Di sisi lain, pihaknya mengaku ada beberapa perusahaan di Jabar yang tutup. Namun pihaknya tidak dapat ikut campur terlalu dalam persoalan antara pekerja dan perusahaan itu.
Rachmat berharap, ada penyelesaian yang adil antara pekerja dan perusahaan. "Ada beberapa yang (tutup) seperti di Subang. Sebagian besar masih bertahan dan kita harap yang penting kita negosiasikan antara pekerja dengan manajemen (perusahaan)" tandasnya.
Ketua Umum DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jabar, Roy Jinto Ferianto mengatakan, isu PHK massal yang belakangan marak diembuskan berpotensi menjadi desakan untuk pemerintah agar tidak menaikkan upah buruh pada 2023 mendatang.
"Ini sengaja memang terus disuarakan (pengusaha) serta disampaikan ke media karena menjelang penetapan upah minimum tahun 2023. UMP bakal ditetapkan 21 November dan UMK ditetapkan 30 November 2022," kata Roy, Rabu (9/11/2022).
Menurut Roy, akal-akalan pengusaha itu selalu terulang dalam beberapa tahun ke belakang. Maka dari itu, pihaknya yakin isu PHK massal dan banyaknya perusahaan yang tutup adalah cara pengusaha menekan pemerintah supaya tidak menaikkan upah buruh.
"Pemberitaan ini bukan hanya terjadi baru-baru ini, tapi setiap tahun menjelang penetapan upah minimum, selalu ada pemberitaan yang mengatakan akan terjadi PHK dan lainnya," ucapnya.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar menyuarakan kabar terkait PHK massal yang dialami 73.000 karyawan selama Januari sampai pertengahan Oktober 2022 lalu.
Bahkan, Apindo mengklaim, data tersebut belum termasuk PHK yang dilakukan perusahaan yang tidak tergabung dalam Apindo. Apindo Jabar juga khawatir PHK terus terjadi menyusul berkurangnya order baik di industri textile, garment, maupun sepatu 2023 mendatang.
"Saya yakin situasi investasi dan dunia usaha sangat sedang tidak baik-baik saja, order yang tiba tiba berkurang 50 persen di tahun depan untuk sektor sepatu dan garment, jadi pertarungan hidup mati serius," ujar Ketua Apindo Jabar, Ning Wahyu Astutik di Bandung, Kamis (27/10/2022) lalu.
Editor : Zhafran Pramoedya
Artikel Terkait