Arti dari falsafah tersebut adalah berlaku kasih kepada sesama anggota keluarga, kepada sesama yang masih terikat dalam komunitas suku Bantik, serta bersifat dermawan kepada siapa pun terlepas dari suku maupun ikatan keluarga.
Semangat Mongisidi ikut terbakar dengan adanya falsafah itu menentang penjajahan. Berkat kepintaran dan keberaniannya, Mongisidi dipercaya memimpin pertempuran melawan Belanda. Dia juga bahkan menjadi sosok yang disegani.
Pada konferensi 1946, dibentuklah Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (Lapris). Wolter Monginsidi kala itu didapuk sebagai ketuanya.
28 Februari 1947, Mongisidi ditangkap oleh tentara Belanda, tetapi berhasil melarikan diri bersama Abdullah Hadade, HM Yosep serta Lewang Daeng Matari setelah hampir delapan bulan mendekam di tahanan. Sepuluh hari berselang, Mongisidi kembali tertangkap dan kali ini Belanda memvonisnya dengan hukuman mati.
Perjuangan Mongisidi tidak berhenti sampai di sana, tak lagi mampu berjuang secara fisik dalam pertempuran, Mongisidi menyuarakan semangat perjuangan lewat tulisan-tulisannya. Berikut ini beberapa tulisannya yang menginspirasi bahkan hingga saat ini.
Dalam Alkitab yang dipegang Mongisidi saat hukuman mati, terdapat tulisan "Setia Hingga Akhir di Dalam Keyakinan". Monginsidi meninggal di hadapan regu tembak pada hari eksekusinya tanggal 5 September 1949.
Penghargaan yang pernah diterima Mongisidi di antaranya Bintang Gerilya (tahun 1958), Bintang Maha Putera Kelas III (tahun 1960), dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 1973.
Editor : Zhafran Pramoedya
Artikel Terkait