BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Anggota DPR RI, Dedi Mulyadi menjelaskan soal undak usuk atau tingkatan-tingkatan dalam bahasa Sunda. Belakangan sempat viral polemik kata "Maneh".
Hal itu diketahui saat Dedi Mulyadi menemui Muhammad Sabil (34), guru di Cirebon yang dipecat usai mengritik Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil (Emil). Sabil dinilai oleh Emil tidak sopan dan kasar menggunakan kata maneh, sehingga ditandai komentarnya di Instagram.
"Kalau di sini (bahasa) Sunda? Cirebon kan?" tanya Dedi Mulyadi di Instagram pribadinya @dedimulyadi71, Senin (20/3/2023).
"Cirebon kan Pantura, Jawa Wareng," jawab Sabil.
Namun kata Dedi, ada sebagian wilayah di Cirebon yang dekat dengan Kuningan. Di sana masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda yang halus.
"Cirebon mah kebagi sih, tergantung wilayah, ada Sunda, Cirebonan, Jawa Wareng," kata Sabil.
Dalam pertemuan itu, terungkap bahwa Sabil pernah berkuliah di Universitas Islam Bandung (Unisba). Ketika itu, Sabil mengambil jurusan Ilmu Komunikasi.
Awal mula terjun ke dunia pendidikan, Sabil mengaku saat itu dirinya diminta bantuan oleh temannya yang memiliki sekolah kejuruan. Temannya itu ingin memiliki jurusan baru bernama Desain Komunikasi Visual (DKV).
"Karena pernah belajar di sana (Unisba). Kalau dibilang ahli mah enggak," beber Sabil.
Selain itu, percakapan keduanya tiba pada soal polemik kata maneh di Instagram. Menurut Dedi, media sosial (medsos) ibarat arsip. Apapun yang diunggah ke medsos akan menjadi arsip untuk ke depan.
"Kalimat yang sekarang terarsipkan dan menjadi tranding adalah kalimat maneh," ujar Dedi.
Kemudian, Dedi menjelaskan perihal penggunaan tingkatan bahasa dalam Sunda. "Bahwa di Sunda yang asli itu tidak terkenal undak usuk," ungkap Dedi.
"Satu, sunda awal itu orang bilang wiwitan, yaitu Banten, sebagian sukabumi, sebagian Bogor. Ke sejarah Pakuan Padjajaran," lanjutnya.
Pakuan Pajajaran diketahui adalah ibu kota dari Kerajaan Sunda yang pernah berdiri pada 1030-1579 M di Tatar Pasundan, wilayah barat pulau Jawa.
Pada masa lalu, di Asia Tenggara terdapat kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya, sehingga Kerajaan Sunda kerap disebut sebagai Kerajaan Pajajaran.
"Jadi di situ tidak ada tingkatan, dia kula. Malah ada bahasa-bahasa di kita (orang Sunda) ditabukan, di sana menjadi hal biasa diucapkan," beber Dedi.
"Tetapi kalau dalam pandangan saya, bahasa itu bukan kalimat maneh-sia, bukan kalimat apapun, tergantung hati kita, kalau bahasanya halus tapi hatinya benci, tetep aja nyelekit," tandasnya.
Editor : Zhafran Pramoedya
Artikel Terkait