BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Barat melaporkan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan masih tinggi. Hal tersebut berkaca pada banyaknya aduan dari masyarakat kepada DP3AKB.
"Terakhir di tahun 2022 dari data nasional ada 2.001 kasus aduan masuk dari seluruh daerah di Jawa Barat," kata Kabid UPTD PPA, DP3AKB Jabar Anjar Yusdinar saat wartawan, Rabu (14/6/2023).
Meski meningkatnya trend aduan, Anjar menilai masyarakat sudah memahami dan teredukasi bahwa setiap kejadian harus dilaporkan.
"Ada fenomena gunung es, yang terlihat di permukaan hanya sebagian kecil atau terlaporkan puncaknya saja. Sedangkan di bawah permukaan masih besar yang belum terlaporkan," ujarnya.
Anjar menjelaskan, semakin gencar sosialisasi, edukasi masyarakat berdampak pada pengaduan yang semakin banyak.
"Masyarakat jadi semakin mengetahui harus dilaporkan kemana. Gambaranya sekarang masih terus meningkat dari tahun ke tahun," jelanya.
Anjar mengungkapkan bahwa jenis laporan yang diterima yakni berbentuk kasus kekerasan meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual.
"Pengaduan dari tahun ke tahun paling banyak kasus kejahatan seksual, disusul kekerasan psikis, kemudian disusul kekerasan fisik," ungkapnya.
Dia menuturkan, KDRT dikategorikan menjadi tempat lokasi terjadi kekerasan. "Memang itu juga yang sangat miris, justru kasus paling banyak terjadi di lingkungan rumah tangga," tuturnya.
Anjar mencontohkan, pada tahun 2022 dari 2.001 kasus, ada 842 atau sekitar 40 persen mengenai kekerasan seksual.
Oleh karena itu, upaya yang dilakukan DP3AKB selama ini yakni dengan melakukan sosialisasi edukasi kepada masyarakat. Sosialisasi ini, lanjut Anjar, dilakukan ke tingkat sekolah sampai ke perguruan tinggi.
"Tapi memang itu dalam rangka edukasi. Mungkin kalau untuk mengurangi mungkin masih kecil, minimal masyarakat mengetahui bentuk kekerasan itu apa saja," bebernya.
Anjar menambahkan, ketika masyarakat sudah paham akan bentuk kekerasan, dapat bertindak untuk melaporkan.
"Jadi kami masih berupaya untuk masyarakat agar terbuka. Sebab, masih dianggap tabu, aib bagi keluarga untuk melaporkan, datang langsung ke kantor atau menghubungi nomor hotline yang gratis," tandasnya. (*)
Editor : Abdul Basir
Artikel Terkait