Demokrasi di Masa Akhir Pemerintahan Jokowi Dinilai Makin Terancam

Aqeela Zea
Fisip Unpar gelar diskusi publik. (Foto: Ist)

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) menggelar Diskusi Publik bertajuk 'Etika dan Demokrasi, Tinjuan Polemik Politik Dinasti dan Pelanggaran Berat HAM' yang berlangsung di Ruang Veritas Gd.3 lt. 5 Fisip, Kamis (21/12/2023).

Kegiatan ini turut dihadiri oleh para pembicara dari kalangan NGO di antaranya Ray Rangkuti (Lingkar Madani), Sely Martini (Indonesian Corruption Watch) dan Alif Iman Nurlambang (Maklumat Juanda/Mahasiswa STF Driyakarya).

Acara yang digagas sekaligus dimoderatori oleh Dosen Mata Kuliah Ilmu Politik DR. Pius Sugeng Prasetyo (Dosen Senior FISIP UNPAR) ini, dihadiri oleh 150 orang mahasiswa baru 2023 dari Fisip, Fakultas Hukum dan undangan berbagai mahasiswa Perguruan Tinggi se-Bandung Raya dan Jakarta.

Dalam pemaparannya, Alif Iman Nurlambang mengatakan, berbagai reaksi terancamnya proses demokrasi yang ditunjukkan publik khususnya kalangan masyarakat sipil, akademisi, budayawan dan mahasiswa saat ini, banyak dipengaruhi oleh keputusan Makamah Konstitusi yang memberikan ruang diluluskannya batas usia 35 tahun atau pernah menjabat kepala daerah menjadi calon presiden dan wakil presiden.

"Keputusan yang tiba-tiba dan sarat dengan kepentingan Pilpres 2024 ini semakin menjadi kontroversial dikala pengambil keputusan sidang MK ini masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan calon wapres yang notabene adalah anak pertama Presiden Joko Widodo yang berusia 38 tahun dan masih menjabat selaku wali kota Solo," kata Alif.

Menurut Alif, keputusan ini sarat memuat agenda nepotisme melancarkan Gibran Raka Buming Raka untuk diluluskan dalam pencalonannya dalam Pilpres 2024 sebagai pasangan Prabowo Subianto.

"Keputusan yang pada agenda reformasi 1998 lalu justru menjadi agenda utama untuk dikikis habis dan diperjuangkan Gerakan Mahasiswa 1998 sebagai prasyarat demokrasi bisa berjalan haruslah terbebas praktek bernegara, berpolitik dan berekonomi dari perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di tanah air," tuturnya.

Keputusan yang sarat dengan pelanggaran etika ini, lanjut Alif, pada akhirnya menjadi keputusan yang bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat.

"Sekalipun pada sidang gugatan MKMK menghasilkan keputusan sidang diberhentikannya ketua sidang MK Anwar Usman atas kasus keputusan pelanggaran kode etik MK, keputusan itu tidak dapat diganggu gugat," ungkapnya.

Seli Martini dari ICW menyoroti bahwa korupsi adalah perilaku tidak etis, karena melibatkan penyalahgunaan kekuasaan publik atau organisasi untuk keuntungan pribadi, yang merugikan kepentingan dan hak orang lain. 

"Korupsi merupakan awal dari rusaknya demokrasi, data ICW yang juga bersifat akademik, karena datanya dapat dipertanggungjawabkan menyatakan korupsi yang dilakukan ini sangat terang-terangan dan telah melibatkan lebih dari satu orang," ucap Seli.

Menurut Seli, korupsi mengikis kepercayaan, melemahkan demokrasi, menghambat pembangunan ekonomi dan seterusnya memperburuk kesenjangan, kemiskinan, perpecahan sosial dan krisis lingkungan hidup.

"Korupsi juga melanggar prinsip moral itu membimbing perilaku manusia dan pengambilan keputusan, seperti kejujuran, kewajaran, keadilan, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, korupsi tidak hanya ilegal, tetapi juga ilegal asusila," terangnya.

Sementara itu, Ray Rangkuti memandang, Indonesia saat ini sedang menuju ke arah yang tidak jelas bahkan suram.

"Suasana yang ada saat ini sekalipun belum sepenuhnya, hari-hari ketika dulu melawan Soeharto, tentu dengan keadaan yang berbeda, tapi cikal bakalnya kelihatan," ucapnya.

Ray menjelaskan, di zaman Soeharto pembangunan bersifat fisik adalah segala-galanya, partai politik disederhanakan dan hasil pemilihan akan diketahui persentase kemenangannya.

Kemudian, tidak boleh ada demo, kritis, setiap proses politik tidak boleh selain pemilu, hingga berujuang kasus HAM Penculikan Aktifis 1998. Demi tercapainya tujuan pembangunan, aturan bisa dirubah, jadi tujuan yang penting, aturan mengikuti.

"Korupsi melekat, keempat kekuasaan bertumpuk pada kalangan mereka, yang itu kemudian menguat paska 1997, dimana Soeharto menunjuk pada Mbak Tutut sebagai Menteri Sosial, disanalah kita mengenal Nepotisme merajalela," jelasnya.

Oleh karena itulah, kata Ray, aktivis 1998 mencetuskan tuntutan pertama adalah menghapuskan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

"Karena masalah utamanya ada disana, yang tidak terpisahkan. Kalau sudah nepotisme akan mengarah pada Tindakan korupsi, kalau mengedepankan dinasti akan mencari teman untuk kolusi, ketiganya  akan senyawa yang tak terpisahkan. Korupsi akan dilakukan secara berjamaah," paparnya.

Ray menilai, tiga hal ini kini mulai muncul diujung pemerintahan Jokowi. Menurutnya, Jokowi betul-betul mereplika aturan-aturan yang dibuat Soeharto.

"Demi visi Jokowi KPK dibonsai. Aturan dirubah demi tujuan dibuat tidak satu kali dalam perjalanan. Karena keinginan untuk menguasai seluruh infrastruktur birokrasi tunggal dibawah pemerintahan, karena kalau tidak dibawah struktur yang tunggal untuk tegak lurus pada Presiden, seperti Undang-Undang ASN yang terbaru," katanya.

Ray mengatakan, perilaku penghormatan HAM yang ditunjukkan pemerintah Jokowi pada periode kedua ini sangat mengkhawatirkan masa depan demokrasi Indonesia, dimana pada masa Index perhormatan HAM sangat mudah dikenakan pada aktivis-aktivis, pasal-pasal pencemaran nama baik, penghinaan dan kekerasan seksual.

"Dalam aksi-aksi menentang politik dinasti misalnya, banyak aktivis-aktivis dijerat seperti Butet Kartarejasa, Aiman Wicaksono, dan terakir Melki," imbuhnya.

Ray menyebut, polemik dinasti menjadi semakin terang dalam proses keterlibatan keluarga saat ini, ketika proses politik di alam demokratik namun megabaikan apa yang disebut etika.

"Pemimpin sekarang tidak seperti Hatta yang memiliki kesadaran etik atas penunjukkannya sebagai Wakil Presiden yang tidak dipilih oleh rakyat tanpa dasar, sehinga beliau mengeluarkan Maklumat No.X untuk segera melakukan pemilu. Sudah saatnya kita bercermin pada pemimpin kita di masa lalu, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, tidak mencontohkan pelanjut kekuasaan dari keluarganya disaat dirinya berkuasa," tandasnya.

Editor : Zhafran Pramoedya

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network