Kang Ace menuturkan, sejak 2014, Komisi VIII DPR mengusung tentang pemisahan antara keuangan haji dan penyelenggaraan haji. Pada tahun itu pula, dibentuk lembaga BPKH yang secara khusus mengelola keuangan haji. Jadi sejak saat itu, keuangan haji bukan dikelola oleh Kementerian Agama (Kemenag) melainkan BPKH. Dasar hukum BPKH adalah UU Nomor 34 tahun 2014.
Sejak terbit UU Nomor 8 tahun 2019 tidak ada lagi istilah Ongkos Naik Haji (ONH). Istilah itu diubah menjadi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang terdiri atas dua komponen, yaitu, pertama, Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang dibayar jamaah haji dan kedua, nilai manfaat. Nilai manfaat ini berasal dari dana haji yang dikelola oleh BPKH.
“Selanjutnya, Komisi VIII DPR juga berperan dalam pembagian kuota haji menjadi dua komponen. Pertama yang diselenggarakan pemerintah. Kedua, yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK). Persentase kuota haji reguler oleh pemerintah 92 persen, sedangkan 8 persen oleh PIHK,” paparnya.
Pembagian kuota ini, ujar Kang Ace, demi kepentingan umat. Sebab, banyak orang yang menunggu puluhan tahun untuk berangkat haji. Maka, persentase terbesar 92 persen untuk haji reguler. Di dalam UU Haji tegas haji reguler 92 persen dan haji khusus 8 persen.
Pada kesempatan itu juga, Kang Ace, membeberkan tentang pelayanan haji saat ini. Jika dibanding pada 1995, pelayanan haji saat ini telah lebih baik. Pada 1995, masing-masing jamaah membawa bekal makanan.
“Saat itu, jamaah tidak diberi makan. Kini, jamaah diberi 27 kali makan di Madinah, 66 kali makan di Makkah, 15 kali di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armina). Selain itu, disepakati pula, makanan yang disediakan harus berselera Nusantara,” ujarnya.
Editor : Ude D Gunadi
Artikel Terkait