BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Sebagai negara kepulauan dengan letak geografis yang strategis, Indonesia dihadapkan pada beragam ancaman akibat dinamika keamanan global. Database konflik yang dirilis Council on Foreign Relations mengidentifikasi 28 titik panas dunia.
Beberapa titik panas tersebut antara lain adalah perang di Ukraina, berbagai konflik berkepanjangan di Timur Tengah, konflik sipil di negara-negara Afrika, hingga ketegangan geopolitik di Asia Timur.
Beberapa titik panas tersebut memiliki korelasi secara langsung maupun tidak langsung dengan keamanan dan stabilitas di Indonesia. Konflik di negara-negara Timur Tengah, misalnya, membuka potensi masuknya ideologi radikal yang dibawa oleh kelompok-kelompok militan transnasional.
Apalagi, banyak juga warga negara Indonesia (WNI) yang terlibat dalam konflik-konflik di kawasan ini. Soufan Group mencatat antara 493 hingga 545 WNI yang masih bertahan di Suriah. Mereka menjadi bagian dari kombatan asing yang tergabung dalam kelompok Daesh.
Penanganan terhadap para kombatan yang kembali ke Indonesia tersebut menjadi kunci agar mereka tidak menjadi sumber masalah di dalam negeri. Salah satu ujung tombak dalam penanganan tersebut adalah adanya deteksi dini yang tepat.
Ali Abdullah Wibisono dan Iwa Maulana, akademisi dari Universitas Indonesia, menulis dalam artikel jurnal mereka bahwa penanganan para kombatan tersebut lebih banyak menggunakan model afiliasi jejaring (network affiliation) karena minimnya kapasitas pemerintah dalam mengumpulkan dan memaparkan bukti keterlibatan para kombatan dalam aktivitas terorisme.
Dengan demikian, kemampuan deteksi dini menjadi kunci yang dibutuhkan dalam penanganan masalah kombatan asing tersebut. Meski Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah membentuk Satuan Tugas Penanganan WNI Terasosiasi FTF, fungsi untuk melakukan deteksi dini merupakan fungsi yang melekat dengan Badan Intelijen Negara (BIN).
Selama ini, fokus BIN cenderung lebih mengutamakan penanganan masalah masalah keamanan domestik. Desain struktur organisasi BIN juga kurang cocok untuk mendeteksi ancaman eksternal maupun lintas negara.
Dengan semakin kompleksnya tantangan keamanan global, perlu ada perubahan paradigma yang menekankan pada orientasi keluar dari deteksi dini yang diberikan oleh BIN.
Untuk mengatasi keterbatasan ini, dibutuhkan perubahan dalam dalam struktur dan pendekatan BIN. Salah satu langkah yang mendesak adalah penguatan Perwakilan Badan Intelijen Negara Luar Negeri (PERBINLU).
Mengapa PERBINLU penting? Kehadiran perwakilan intelijen di luar negeri akan memperluas jangkauan pengumpulan informasi strategis. Selama ini, Indonesia sering kali bergantung pada informasi yang disediakan oleh negara-negara lain atau mitra internasional.
Dengan PERBINLU, Indonesia dapat memiliki akses langsung terhadap informasi yang lebih akurat dan relevan, sehingga mampu merespons lebih cepat terhadap ancaman yang muncul.
Selain itu, PERBINLU juga dapat memperkuat diplomasi keamanan Indonesia, memungkinkan komunikasi yang lebih efektif antara komunitas intelijen dan aktor-aktor penting di tingkat internasional.
Peneliti di Center for International Relations Studies Universitas Indonesia, Khaira Anisa menilai bahwa keberadaan PERBINLU memberikan leverage dalam kerja sama internasional.
“Keberadaan lembaga tersendiri yang didedikasikan untuk mengamati ancaman luar negeri dan merancang perencaan mitigasi yang tepat bukan hanya akan meningkatkan kapasitas Indonesia dalam pengumpulan informasi, tetapi juga memberikan leverage dalam kerja sama internasional," kata Anisa dalam keterangannya, Sabtu (21/9/2024).
“Di tengah meningkatnya ancaman lintas batas, intelijen luar negeri menjadi komponen esensial bagi strategi pertahanan negara," tambahnya.
Seiring dengan meningkatnya ketegangan global dan regional, kata Anisa, penguatan BIN menjadi kebutuhan yang tak terelakkan.
"Indonesia harus mengambil langkah strategis untuk memastikan pertahanan nasional yang lebih tangguh dan siap menghadapi berbagai ancaman, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri," tandasnya.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait