Landasan hukum PTK 065/2017 tersebut, ujar Yusri, lemah dan tak berakar kepada UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2017, terkesan digatok gatoke aja. Setelah terbitnya Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang telah direvisi menjadi Permen ESDM Nomor 18 Tahun 2021 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi dan Kondensat Untuk Kebutuhan Dalam Negeri, PTK 065/2017 itupun tak pernah direvisi untuk kepastian pasokan kilang Pertamina dari produksi minyak mentah dalam negeri.
"Sependek pemahaman dan temuan kami, PTK 065/2017 itu rawan disalahgunakan untuk kepentingan pemburu rente, bahkan ada KKKS tidak pernah melakukan tender dalam menjual kondensat bagian negara setidak tidaknya lima tahun terakhir berpotensi merugikan negara, dugaan kongkalikong ini sudah kami laporkan resmi ke KPK dan Kejaksaan Agung sejak Juni 2024," ujar Yusri.
Padahal, tutur Yusri, dari setiap barel produksi minyak mentah dan kondensat yang dikelola oleh KKKS asing, swasta nasional dan Pertamina Hulu Energi serta BUMD, baik dengan skema gross split atau skema cost recovery, terdapat minyak bagian negara yang dikenal dengan istilah Goverment Oil Intake (GOI).
Selain itu, tutur dia, merujuk UU Migas, ada kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) KKKS sebesar 25 persen dari total produksinya untuk kebutuhan kilang Pertamina.
"Sayangnya, akibat penerapan formula harga Indonesian Crude Price (ICP) + Premium yang ditawarkan oleh KKKS ke Pertamina menjadi tak ekonomis, mengakibatkan banyak minyak bagian negara dan DMO telah diekspor, ironisnya kembali diimpor oleh Pertamina Patra Niaga dalam bentuk BBM. Ini adalah fakta," tuturnya.
Menurut Yusri, seharusnya pemerintah hadir untuk menekan PT Kilang Pertamina Internasional untuk mengurangi impor minyak mentah, sehingga harus ada kebijakan Menteri Keuangan bahwa minyak mentah bagian negara dan DMO dijual ke KPI dengan formula ICP + flat, jika harga ICP discount tentu lebih.
Editor : Agus Warsudi
Artikel Terkait