“Agar ketiga instrumen tersebut dapat berfungsi dan bekerja dengan baik, maka perlu kita rawat dan diberikan asupan-asupan yang positif. Sebuah afirmasi positif yang muncul dari asupan-asupan positif yang kita dapatkan dinamakan takwa, sedangkan sebaliknya jika kita mendapatkan asupan yang negatif maka akan memunculkan fujur (rambatan keburukan),” terangnya.
UAH juga menggunakan rujukan dari surah Yusuf Ayat 53, “Aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberikan rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
“Kita tidak bisa mengklaim diri paling suci, paling bersih, paling baik karena tetap ada potensi yang kurang baik pada diri kita. Jika yang negatif tersebut dominan, maka bertemulah Nafs (Jiwa) dengan Su (keburukan) jika digabung maka menjadi Nafsu. Jika dalam diri kita ini kalau tidak diolah dan muncul tunggal atau dominan fujurnya maka akan menjadi nafsu atau perbuatannya buruk,” katanya.
Dengan penjelasan tersebut, tentu setiap insan memiliki pertanyaan “Mengapa Allah menciptakan adanya takwa dan fujur?”
Maka, dalam pengajian tersebut, UAH juga menjelaskan secara filosofis yang berdasar pada Al Qur’an bahwa fujur diciptakan bukan karena ingin membuat kehidupan manusia bermasalah, bukan juga karena Allah SWT menciptakan marah agar manusia menjadi pribadi yang pemarah. Tetapi semua itu diciptakan agar muncul rasa sabar dalam diri manusia.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait