"Kandungan gula di cokelat Terve rata-rata hanya 20 persen, maksimal 45 persen. Jadi lebih besar persentase cokelatnya dibanding gula," tuturnya.
Bahan baku cokelat Terve, kata Kezia, berasal dari petani lokal di sembilan daerah, di antaranya, Jasinga, Bogor; Cilacap, Jawa Tengah; Papua; Tabanan dan Jembrana, Bali; Payakumbuh, Sumatera Barat (Sumbar), dan Berau, Kelimantan Timur.
"Jadi kami mengambil pasokan cokelat yang telah difermentasi dari petani lokal. Walaupun harganya lebih mahal, tetapi cokelat fermentasi lebih sehat dikonsumsi," ucap Kezia.
Menurut Kezia, pasokan cokelat dari petani lokal masih lancar. Namun saat ini, harga cokelat mahal yang disebabkan oleh insiden gagal panen petani cokelat di Ghana. "Namun kami memiliki stok yang cukup untuk terus berproduksi," ujarnya.
Kezia menuturkan, Terve ingin cokelat lokal menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia. Karena itu, Terve mengikuti pameran bergengsi di Amsterdam, Belanda, dan Prancis. Sambutan masyarakat Belanda dan Prancis sangat bagus.
Mereka menganggumi keunikan rasa cokelat Terve asli Indonesia yang khas frutty dan nutty, berbeda dengan rasa cokelat dari negara lain, seperti Equador, Ghana, dan Madagaskar.
"Kami ingin Terve menjadikan cokelat Indonesia mendunia. Sehingga dunia mengenal Indonesia dari cokelatnya. Seperti kopi, masyarakat dunia mengenal kopi Toraja dan Aceh. Kalau orang luar negeri ke Indonesia, mereka akan membawa cokelat Terve sebagai oleh-oleh asli Indonesia," tutur Kezia.
Editor : Agus Warsudi
Artikel Terkait